Moderat dan Mencerdaskan Masyarakat
Indeks

Luka di Antara Rindu

Pagi…, saat mata terbuka aku kembali menyadari bahwa kau tak akan mungkin berada di samping ku. Kesekian banyak harapan yang kubutuhkan ternyata menjatuhkanku berkali-kali lipat. Yah, aku mungkin benar, begitu salah melepas kan begitu saja seluruh kepercayaan dan penerimaanku pada pengharapan yang salah. Semesta tentu cemburu.
Kau tahu, aku tentu tengah berbohong untuk terlihat bagitu biasa saja. Aku tentu berbohong terlihat bersikap manis. Lebih tepatnya aku tengah berbohong untuk kebahagiaan mu mungkin juga untuk kebahagianku. Bagaimana, aku handal berbohong bukan?
Aku tak bisa mendefinisikan apapun tentangmu, tak ada yang menyamaimu. Kau hadir, seolah menawarkan obat paling manis yang pernah ada. Ditengah usahaku untuk benar-benar bangkit. Tapi aku lupa, tak ada obat yang manis. Yang kau bawa justru racun, yang melumpuhkan hatiku seketika. Kau jahat. Tentu aku ingin berkata itu. Tapi biarlah, mati, lumpuh hatiku ini biar jadi sumber bahagiamu, bersamanya. Aku naif bukan. Tapi percayalah, aku tak tahu apalagi yang harus kuperbuat untuk hati yang tak pernah perduli bahkan memilih hati yang lain. 
Kau pecundang paling handal yang pernah kutemukan, alasan-alasan tak masuk akal dan diammu, membuatku bertanya banyak hal tanpa tahu jawabannya. Aku bukan ahli tebak. Aku hanya gadis biasa yang rela melepaskan seluruh penerimaan namun diinjak begitu saja. Kau tahu, ada banyak orang yang kutanyai pandanganya dan semua tak cukup lega melepaskan penat perih di hatiku. Doakupun bahkan terkesan tak ikhlas karena berurai air mata menyebut nyebut namamu. Yah aku begitu terpuruk.
“Kenapa Han?” Nurul berbsik padaku.
Harus kukutuk takdir atas pertemuan kita? Ah tidak, bagian ini aku cukup dewasa bersikap. Meski di satu sisi aku justru terlihat begitu merindukan hangat tawamu di ujung percakapan kita.
“ Han, kenapa nangis?” Nurul makin penasaran dengan diamnya aku. 
Ku beritahu, meski aku telah membuka lebar jalan keluar untukmu, aku tetap enggan membuka pintu rumahku. Tak bisakah kau bertahan sejenak di rumahku. Terserah, kau mau pecahkan apalagi. Aku tetap bahagia.
Kau, menang atas kemenangan mu. 
Terimakasih atas gores luka yang jauh lebih menyesakan paru paru ku, mengendap di jantung ku. Yah, kudoakan kebahagiaan mu dan nya, haru biru meski kau gelar di atas penderitaan dan senyum getirku.
“Oh ngga papa kok Ul, haru aja sama doa sang ustad tadi…” kusembunyikan getir cinta di hatiku.
****
Tumpukan kertas di hadapanku, ku biarkan berserak sesukanya. Buku-buku yang seharusnya selesai minggu ini, ku biarkan saja teronggok diam di atas lemari. Kadang mereka kubawa tapi enggan ku buka. Maaf untuk kali ini.
Mataku nanar, sudah 3 minggu ini, agendaku kosong. Tak ada yang kutulis. Proyek proyek kecil yang kususun berantakan seketika.
“Aku butuh pulang.” Gumamku sore itu.
“Untuk apa pulang, bukankah menekuk kepala dan memasang wajah tak ceria hanya akan menjadi tanda tanya orang di rumah?” Hatiku berdebat.
“Tak apa, pulanglah. Pulang bisa menuntaskan apapun yang terjadi, meski tanpa bicara.” Aku menghela nafas. Kubiarkan saja dua sisi dalam hatiku berdebat mencari solusi.
Aku kembali pada diam-diamku menatap begitu banyak yang berlalu begitu saja. Duka-duka yang menyelinap berwajah dua seolah menjajikan bahagia nyatanya justru melenyapkan seluruh daftar mimpi-mimpi. Aku benci yang seperti ini. Tapi tak ada daya menolak.
“Kau melamun lagi? Ayolah.” Kali ini kedua sisi di hatiku kompak bertanya.
“Ya, akhir akhir ini aku selalu begini.” jawabku datar.
“Kau lelah? Jenuh?” mereka kompak bertanya.
Aku diam. Menghela nafas dalam dalam, menatap keduanya. Menahan air mata yang sudah siap terjun membasahi kedua pipi tirusku.
“Ayo manis, tersenyumlah! Kau berharga “Keduanya begitu faham maksudku.
Pelan kubuka mulutku dan meremas jari jari tanganku sembari berkata  “Semua terasa hambar akhir akhir ini.” Tuntasku.
Ada apa dengan hidupku, bukankah terlalu lemah aku dengan serpihan takdir-Nya? Haruskah ku lai dan mencari bercak cahaya yang susah kuraih? Atau ku biarkan saja lenyap semua mimpi di timbun semua duka hatiku.
“Kak Hani jadi pulang kampung hari ini?” Yuni salah satu mahasiswa yang tinggal bersamaku di seuah asrama. Jelas membuat dialog dua sisi jiwaku kabur.
“Menurut kamu baiknya pulang atau ngga ya?” Aku malah bali tanya ke Yuni.
“Terserah kakak aja, jika kakak mau pulang rindu abahnya, ya pulang saja. Kalau enggapun ya, saya dan temen-temen malah seneng” Pungkasnya dia khiri senyum lugunya.
Ya Allah sanggupkah ku kepal hari ini, atas semua kejadian yang menimpaku akhir-akhr ini? Bukankah hujan itu ada redanya? Bukankah kemarau ada hujannya? Biarkan ku jawab tanyaku sendiri dalam hentakkan waktu yang akan ku lalui ini. Ku putuskan aku pulang. Setelah kemas-kemas dan izin pada semua anak-anak ada Anita, Hesty, Ola, Melti, Veren, Cindy dll aku lepaskan semua rasaku dan kuitinggalkan cecerannya di jalan.
Patah, luka, sakit. Itu proses. Kalau tidak melewati hal-hal seperti itu belum tentu kita menghargai hari ini yang kita lewati. Ada hikmah dibalik zona waktu yang kita lewati. Ditinggal misalkan, Tuhan mungkin ingin kita menemukan orang-orang baru dalam hidup kita, yang tentu berdampak baik ke depannya. Buat apa menggerutu, toh bisa jadi bukan dia yang meninggalkan kita yang tidak baik untuk kita, mungkin kita belum jadi baik. Jadi kesimpulannya memang bukan yang Terbaik. Berbaik sangkalah! karena masing-masing akan melewati zona-zona tersendiri sesuai kemampuan kita .
Tempat nangis paling enak setelah pojok kamar, dan masjid adalah di atas motor. Pakai masker, helm. Nangis sepuasnya. Puas banget. Asal ga ketemu lampu merah. Sama halnya saat ini aku terseguk, menumpahkan segala kelamnya hati, dalam balik kaca yang trsembunyi, jalanan ini menjadi saksi betapa perih luka hatiku dengan janji yang manis namun pahit di akhir.
 **** 
Ku salami abah dan mak ku yang tak lagi muda, kerasnya dunia tergambar dari bilik rona wajah yang bergaris-garis. Kumasuki ruang yang tak luas-luas amat, tapi tempatku mengadukan semua isi hati pada Rabb ku, di sinilah kamarku. Teringat kembali hari itu, di mana butiran rasa menjadi hambar karenanya.
Aku masih benar benar ingin berdamai dengan diriku sendiri.
Notifikasi pesan di handphone ku berdering berapa kali.
“Pesan yang sama.” Gumamku. Ku letakan kembali handphone di atas meja.
Ku tarik nafas dalam-dalam. Mengingat kembali apa yang sebenarnya sudah terjadi.
“Jadi apa maksud semua ini?” Tanyaku via telpon kala itu
“Tak ada maksud apa-apa. Tak ada yang patut diteruskan dan kita belum terlalu jauh. Lagi pula, dia dekat denganku di sini. Tak perlu banyak biaya untuk sebuah resepsi pernikahan.” Jelasmu, tanpa jeda.
“Tega sekali kamu, tega. Aku tidak pernah menuntut apapun “Aku kembali merengek bagai anak kecil yang kehilangan permen-permennya tapi Firman sama sekali tak perduli. Di matikan nya telpon dari ujung sana. Tanpa kata-kata lagi.
Tangisku masih menjadi-jadi, bertubi-tubi pesan masuk dari perempuan barunya, memintaku untuk jelas-jelas meningkalkan lelaki yang 2 tahun terakhir ini ku kenal.
“Sudahlah Han, untuk apalagi kau mengurung diri begini. Jika dia tak berniat menikahimu dan meninggal mu begitu saja, berarti dia tak pantas mendapatkan ketulusanmu.”  Nanda tegas berkata.
“Tuhan adilkan Nan?” Tanyaku datar.
“Iya adil Han. Adil.”  Ia terus memelukku.
Hari ini, bahkan sejak dua bulan terakhir pesan pesan yang sama masuk ke handphoneku dari Firman, hanya untuk meminta maaf. Bertubi-tubi iya tuangkan rasa menyesal, bersalah dan meminta keikhlasan.
“Maaf, ikhlas, menyesal? Apalagi? bukakah belum terlalu jauh dan semua belum dimulai.” Hatiku berkata-kata.
Ada gejolak dalam hatiku, kesal karena handphone ku berdering berkali kali dan tentu aku muak. Tapi disatu sisi, dia tetap manusia yang berhak merasa bersalah.
“Kemana saja kamu Firman,  begitu mudah menghempaskanku dengan seluruh kata katamu. Saat sudah dalam kesulitan baru datang. Apa kamu pikir aku ini seperti pintu loket yang begitu mudah di tarik dan didorong. Maaf Firman, semua sudah usai.” Gumamku
Nanda benar, dan memang benar adanya Tuhan maha adil. Kubiarkan saja pesan yang masuk lagi dan lagi. Ku runtuhkan dinding pertahanan ku, yang sekian lama ku tinggikan. Ah aku lupa tinggi saja  tidak cukup, aku lupa membuatnya menjadi tebal. Seseorang mecegahku saat dinding pertahan itu ingin kupertebal.
“Buat apa?” Kata Firman.
Aku hanya diam, lalu menurut begitu saja.
“Tak baik.” lanjutnya
Aku tetap menuruti perkataannya.
Akhirnya, dinding itu kini tak bersisa sedikitpun. Hancur dan aku bingung membangunnya kembali.
“Han, makan yuk, emak dah buat makanan spesial tuh, cepatlah Han…”
Abahku yang sdikit berteeriak dari daun pintu kamarku, ku hapus sisa-sia derai air mataku, “Iya bah…”
Aku berpura tersenyum dengan ketulusan yang sedikit tertahan, aku sungguh tak ingin mereka tahu, pulangku adalah untuk mengunci diri dari derasnya perih. 
“Han, nanti temui aa=bah lepas ashar ya, ada yang abah sama mak bicarakan. Mungpung kamu pulang nak..”
“In syaa Allah bah…”
Serasa nasi dan ikan sama saja rasanya hambar semua.
Haripun bergulir dan tahu kenapa hariku samapai hari ini terasa sama? Karena hari-hariku kandas terhalang nestapa. Luka luka seolah berulang kembali menjelma, menyapa, Naluri menolak, semesta menyeret. Ragu menjadi satu dalam keinginan.
Setelah ku tunaikan kewajibanku, bersujud penuh harap dalam elegi rasa yang terus bermain di jiwaku. Ku rangkai doa indahku, semoga abah ga tahu apa yang aku alami ini. Ku tatap tarian dedaun di belakang jendela kamarku. Mereka saja bisa menari dengan indahnya. Lirih kicauan burung, angin bertiup, layaknya musik kebahagian, namun perih ditelan..
Ada dentuman dusta di balik kewarasan rasa, tak perlu menoleh jauh, jika nestapa masih enggan berlalu. Biar lekang usia dimakan kesendirian, biar pupus harapan di tengah senja dan pengharapan. Biar tangis menjadi penawar, biar bahagianya jadi alas tikar kehidupan. Biar tawanya di ujung sana terus menggelegar. Tak ada upaya selain berpasarah, semesta tak kan meninggalkan goresan belaka. 
“Han, jagan duduk di situ, disini aja” Aabahku pulang dari masjid, sambil menujuk sebuah kursi di depan kebun kecil kami. Ya, aku memang suak duduk di pinggir teras, lebih dekat dengan tanamak-tanamaku, dulu aku jaga, karena sekarang di Asrama jadi emak deh yang jaganya sama abah. Aku belum kenalan ya pembaca. Namaku Hani Setia Mawardi, kenapa ada setia nya ya? Abah deh sama emak yang tahu. Entar kapan-kapan aku tanya deh, Aku pembina Asrama putri di STAIMA Sintang dan sebagai staf di BBPM juga. Aku mau ke abahku dulu ya pembaca, apa sih yang mau abah bicarakan denganku.
“Han, kamu kenal Firman?”
Tanpa basa basi abahku, menanyakan itu. Rasanya bagai petir di sore hari dengar nama itu. Aku diam sejuta bahasa, nunduk, lemas, dan apa yang harus ku jawab…
BERSAMBUNG…
HANI MAU JAWAB APA KE ABAHNYA? APA FIRMAN YANG DATANG KE ABAHNYA ADALH FIRMAN YANG MENYAKITI HATINYA?
TUNGGU DEH JAWABNNYA, KAPAN-KAPAN HEHE…
——————————————————————- 
Beberapa tulisan di ambil dari status temen, adik juga boleh ya, HANI. Trims telah mengispirasi hadirnya cerita ini, special untuk Hani, anak-anak asrama, dosen dan staff serta seluruh civitas akademika STAIMA Sintang. Mohon maaf bila tak berkenan. Maunya sih jadi novel Hehe…, doain aja.
Salam Bahagia Bersama
DEWI SURYATI
(Alumni STAIMA, Penyiar radio, Penulis novel LCDM)

NB: Tulisan ini sudah mendapatkan persetujuan dari penulis untuk dimuat ulang dari blog pribadinya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *