Moderat dan Mencerdaskan
Indeks

Kompromi Politik sebagai Jalan Tengah: Meneguhkan Wasathiyah NU dalam Kepemimpinan Nasional

mega career expo

Oleh M. Mirza, S.Kom., M.I.Kom.

Konsultan, Founder & CEO Circle Indonesia Maju

Dalam sejarah kebangsaan Indonesia, nilai kompromi politik telah menjadi pilar yang menghindarkan negeri ini dari jurang perpecahan. Di tengah polarisasi yang mengeras pasca-Pilpres 2024, kompromi bukan hanya perlu—ia menjadi mendesak. Di sinilah bangsa ini memerlukan panduan dari nilai-nilai luhur—salah satunya adalah ajaran wasathiyah atau jalan tengah yang telah lama diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama (NU).

NU dan Jalan Tengah: Warisan KH. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari, sebagai pendiri NU dan salah satu tokoh sentral kebangkitan nasional, telah menunjukkan bagaimana nilai keagamaan dan kebangsaan dapat berpadu secara harmonis. Dalam gagasan dan tindakan beliau, agama tidak dijadikan alat konfrontasi, tetapi sebagai dasar rekonsiliasi dan kemaslahatan. KH. Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathan minal iman). Di balik kalimat sederhana itu tersimpan pesan besar: bahwa membangun bangsa memerlukan moderasi dan kompromi yang tulus.

Dalam konteks politik, wasiat kebangsaan beliau menegaskan bahwa jalan tengah adalah pilihan etis dan strategis. Ketika Indonesia menghadapi kolonialisme dan konflik ideologi, KH. Hasyim memilih jalur ijtihad yang menjaga persatuan umat dan mendorong dialog lintas kelompok. Nilai-nilai ini kemudian diwarisi dan diteruskan oleh NU sebagai kekuatan pemersatu bangsa.

Pemerintahan Prabowo: Kompromi untuk Menguatkan Persatuan

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menegaskan pentingnya kompromi dan kolaborasi dalam proses menguatkan persatuan nasional. Dialog yang terbuka dengan berbagai elemen politik dan sosial, termasuk tokoh-tokoh lintas ideologi, menunjukkan pentingnya keberagaman dan keseimbangan dalam pemerintahan. Prinsip-prinsip tawassuth dan tawazun yang diajarkan oleh NU—seimbang dan moderat dalam mengambil keputusan—akan semakin memperkuat jembatan antara berbagai kelompok politik yang berbeda.

Penting untuk diingat bahwa kompromi yang dilakukan dalam kerangka rekonsiliasi akan mendorong terciptanya pemerintahan yang inklusif dan stabil. Ketika kepentingan-kepentingan yang beragam dipertimbangkan dengan bijak, proses pemerintahan akan lebih kondusif untuk pembangunan nasional.

Kompromi: Bukan Transaksi, Tapi Ijtihad Kebangsaan

Namun, kompromi politik bukan ruang untuk transaksi kekuasaan yang pragmatis. Kompromi yang sesungguhnya harus berangkat dari ijtihad kebangsaan—yakni usaha sungguh-sungguh untuk menemukan titik temu demi maslahat umat. Dalam semangat ini, NU bukan hanya penonton politik, melainkan pelaku strategis yang menjaga akhlak politik nasional.

Kompromi yang berangkat dari niat baik dan prinsip keadilan akan melahirkan kekuatan. Sebaliknya, kompromi yang semata-mata lahir dari syahwat kekuasaan hanya akan mempercepat keretakan kepercayaan rakyat terhadap elite.

Penutup: Wasathiyah sebagai Fondasi Kepemimpinan

Warisan KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan bahwa Indonesia tidak bisa dibangun dengan ekstremisme—baik kanan maupun kiri. Jalan tengah adalah fondasi yang kokoh dan telah teruji oleh sejarah. Kini, saatnya para pemimpin bangsa meneguhkan kembali prinsip wasathiyah dalam setiap kebijakan dan komunikasi politiknya.

Dalam semangat NU, kompromi bukanlah kompromi terhadap prinsip, tetapi penyelarasan antara idealisme dan realitas demi kemaslahatan bersama. Inilah etika politik yang luhur, yang patut dijadikan pegangan oleh siapa pun yang mengemban amanah kekuasaan di negeri ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *