SALURANSATU.COM – Bontobahari, Bulukumba – 8 Agustus 2025. Udara sore di dermaga itu terasa berat. Angin laut yang kencang mengguncang bendera-bendera Palestina, tapi tak cukup kuat untuk mengusir sesak dari dada ratusan orang yang berkumpul. Mereka berdiri rapat, diam, menatap panggung sederhana tempat seorang ulama berdiri dengan wajah tegas namun mata yang basah.
Ustaz Bachtiar Nasir—atau yang akrab disapa UBN—menggenggam mikrofon. Tak langsung bicara. Ia terdiam sejenak. Jeda itu pendek, namun cukup untuk membuat waktu seakan berhenti. Tatapannya menembus cakrawala, seolah menyeberangi samudra dan gurun hingga menyentuh Gaza.
Suara UBN bergetar ketika akhirnya bicara. Ia bercerita tentang anak-anak yang meregang nyawa, bukan karena peluru, tapi karena perut yang kosong selama berhari-hari. Tentang bayi yang tangisnya padam di pelukan ibu. Tentang blokade yang mencekik kehidupan dan menjadikan Gaza sengaja dilaparkan.
Di barisan depan, mata-mata mulai berkaca. Seorang ibu memeluk anaknya erat, seakan bersumpah dalam hati: tak ada yang boleh merenggutmu dari pelukanku.
Jalan yang Tak Biasa
Bagi UBN, Gaza bukan sekadar berita duka dari negeri jauh. Itu adalah panggilan hati, kewajiban iman. Ulama kelahiran Jakarta, 26 Juni 1967 ini memilih jalan yang jarang dilalui—jalan sunyi namun penuh makna—melalui gerakan Indonesia Peace Convoy (IPC).
“Kalau suara bela Palestina hanya terdengar di kota-kota besar, ia akan hilang ditiup angin. Karena itu, kita turun ke jalan. Menyapa umat satu per satu. Membawa kabar Palestina ke setiap sudut negeri,” ujar UBN dalam satu kesempatan.
IPC bukan sekadar iring-iringan motor dan mobil. Ia adalah kafilah nurani, deretan kendaraan yang melaju bukan untuk gagah-gagahan, tapi untuk mengusung pesan dari tanah yang terluka. Setiap bendera Palestina yang dikibarkan adalah janji: Indonesia punya utang sejarah kepada Palestina, dan utang itu harus dibayar dengan konsistensi hingga kemerdekaan benar-benar tiba.
Di setiap kota yang disinggahi, UBN sendiri yang mengendarai motornya. Menembus terik yang membakar kulit dan hujan yang menggigilkan tulang, ia terus melaju. Roda-roda itu berputar membawa pesan yang tak boleh terhenti.
Dakwah yang Bergerak
IPC bukan hanya aksi solidaritas, tapi juga dakwah yang bergerak. UBN dan timnya tak sekadar melintas, tapi berhenti: di masjid, pesantren, hingga halaman rumah warga. Mereka duduk lesehan, menatap mata masyarakat, mendengar kisah mereka, lalu menyampaikan luka Palestina.
“Dulu, Ki Hajar Dewantara mengayuh sepeda keliling Yogyakarta untuk menyebarkan kabar kemerdekaan Indonesia. Hari ini, kita keliling negeri untuk mengabarkan bahwa Palestina belum merdeka—dan dunia tidak boleh melupakannya,” tutur UBN, lulusan Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
Deru mesin menjadi bedug, memanggil umat untuk peduli. Menyadarkan bahwa di Gaza, ada keluarga yang berjuang hanya untuk bertahan hidup. Ada anak-anak yang bermimpi tentang langit yang tenang, tanpa drone dan pesawat tempur.
Sejak dimulai pada 2024, Indonesia Peace Convoy telah menjadi sungai panjang yang mengalirkan kesadaran. Dari desa di kaki gunung, pesisir yang diterjang ombak, hingga pusat kota yang bising, pesan Palestina terus hidup.
UBN telah melangkah jauh, menempuh ribuan kilometer, demi satu harapan: Palestina merdeka.
Ia tak akan berhenti hingga azan berkumandang di Masjid Al-Aqsha dan umat Islam bisa bersujud bersama di tanah suci itu, dalam damai yang dijanjikan.









