Moderat dan Mencerdaskan
Indeks
Opini  

Dua Hari, Satu Ironi

mega career expo

Oleh: Ahmad Sabiq
Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Unsoed

Setiap awal Mei, kita memperingati dua momentum penting secara berurutan. Tanggal 1 Mei kita memperingati Hari Buruh Internasional, sebuah momen untuk menghormati perjuangan kaum buruh, mengakui kontribusi mereka dalam kehidupan bersama, serta menegaskan hak-hak dasar para pekerja.

Sehari berselang, pada 2 Mei, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional, suatu peringatan akan pentingnya akses pendidikan yang merata dan bermartabat bagi seluruh anak bangsa, sekaligus bentuk penghormatan atas jasa para pahlawan pendidikan.

Namun, bagaimana jika dua hari penting ini justru menghadirkan ironi bagi ratusan ribu buruh migran dan anak-anak mereka? Bagi banyak buruh migran Indonesia, terutama yang bekerja di Malaysia, kedua hari ini bukanlah perayaan, melainkan pengingat pahit akan hak-hak mereka yang tak kunjung datang.

Kerja keras mereka di ladang-ladang sawit, sektor konstruksi, atau sektor domestik ternyata tak serta-merta membuka jalan pendidikan bagi anak-anaknya. Alih-alih duduk di bangku sekolah, anak-anak para buruh ini justru menyusuri lorong-lorong tak tersentuh layanan dasar negara, tanpa status dan tanpa masa depan yang jelas.

Merekalah yang disebut sebagai anak tanpa dokumen (undocumented children), yakni anak-anak yang tidak memiliki bentuk dokumentasi yang sah untuk tinggal di negara tempat mereka berada. Sebagian lahir dari orang tua migran yang juga tidak berdokumen, sementara sebagian lainnya dibawa ke negara tujuan melalui jalur tidak resmi. Tanpa dokumen, mereka secara otomatis kehilangan hak-hak dasar, dan pada akhirnya terpinggirkan secara ekonomi dan sosial.

Status undocumented yang mereka sandang sejatinya mencerminkan sistem yang ambivalen. Di satu sisi permisif terhadap pemanfaatan tenaga kerja murah, namun di sisi lain abai terhadap pemenuhan hak-hak dasar pekerja dan keluarganya. Dalam konteks migrasi, Linda Lumayag (2016) menunjukkan bahwa anak-anak jarang diposisikan sebagai subjek di mana migrasi kerap dipandang sebagai urusan orang dewasa, sementara anak-anak hanya dianggap sebagai pelengkap.

Keberadaan mereka nyaris tak tampak di mata negara, hanya karena status orang tua mereka yang tidak diakui secara hukum. Mereka tidak diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan, tetapi harus menanggung akibat dari kebijakan: menjadi penduduk tak diakui yang tidak bisa mengakses layanan publik, termasuk kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan.

Sejak tahun 2002, Pemerintah Malaysia secara tegas membatasi akses sekolah negeri hanya bagi warga negaranya. Kebijakan ini membuat ribuan anak buruh migran kehilangan kesempatan untuk bersekolah. Bukan karena mereka enggan belajar, tetapi karena negara tempat mereka tinggal belum sepenuhnya hadir memberikan perlindungan. Mereka tumbuh dalam ketidakpastian, meskipun tak pernah memilih untuk berada dalam situasi itu.

Dalam keterbatasan itu, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan NGO, perusahaan perkebunan, hingga komunitas lokal berupaya menghadirkan pendidikan melalui pendirian Community Learning Centres (CLC) dan Sanggar Bimbingan (SB), sekolah nonformal berbasis kurikulum nasional. Akan tetapi, ini belum cukup. Jumlah anak tanpa dokumen jauh lebih besar dibanding mereka yang bisa dijangkau.

Dalam kerangka teori kapabilitas yang dikembangkan oleh Amartya Sen (1993), pendidikan bukan hanya soal belajar, tetapi alat untuk membebaskan manusia dari keterbatasan sosial. Bagi anak-anak tak berdokumen ini, pendidikan bukan sekadar membaca dan berhitung tetapi jembatan menuju masa depan. Tanpa pendidikan, mereka nyaris tak punya pilihan memperbaiki kehidupan. Tanpa kehadiran negara, mereka akan terus berada di pinggiran sistem yang tak menganggap mereka ada.

Maka, di tengah peringatan Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional, meskipun terasa ironis, kita perlu bertanya dengan jujur: Apakah kita benar-benar menghargai buruh migran jika anak-anak mereka tetap terpinggirkan dari pendidikan? Apakah pendidikan kita benar-benar merata jika anak-anak buruh migran tidak pernah mendapat kesempatan yang sama? Pendidikan adalah hak setiap anak bangsa, di mana pun mereka berada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *