
SALURANSATU.COM – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjalankan mandat dari Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Yakni meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak dan perlindungan anak. Keberadaan KPAI sebagai salah satu LNHAM yang independen diperkuat oleh UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Empat obyek pengawasan KPAI yakni: 1) Pengawasan yang dilaksanakan bersumber dari data masyarakat/publik dan media, seperti kasus pelanggaran hak anak yang mendapat perhatian luas; 2) Pengawasan yang dilaksanakan berdasarkan pengaduan masyarakat; 3) Pengawasan terhadap program/kegiatan yang termasuk dalam isu prioritas nasional; dan 4) Pengawasan atas hasil mediasi yang dilakukan KPAI.
Data BPS 2023 mencatat populasi anak Indonesia mencapai 30,2 juta jiwa, yang mencakup sepertiga dari total penduduk. Ini menunjukkan bahwa masa depan Indonesia sangat bergantung pada kualitas anak-anak saat ini. Namun, anak-anak masih diderai berbagai masalah kompleks, salah satunya kekerasan. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukan 1 dari 2 anak usia 13-17 tahun pernah mengalami setidaknya satu kekerasaan sepanjang hidupnya.
Pada 2024, KPAI telah melakukan pengawasan dua klaster yakni: Klaster Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Klaster Perlindungan Khusus Anak (PKA). Di Klaster PHA, pengawasan meliputi pemilu ramah anak dan percepatan pemenuhan hak anak atas identitas; pencegahan perkawinan anak, dispensasi nikah, isu-isu pengasuhan; anak putus sekolah; stunting; dan implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat pendidikan dan tempat bermain Anak.
Sementara, Klaster PKA melakukan pengawasan terkait kekerasan pada anak; perundungan; praktek Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA); eksploitasi anak seksual/ekonomi; anak dan terorisme; bunuh diri anak; perlindungan anak di ruang digital; pekerja anak; serta anak minoritas dan wilayah 3T.
Kegiatan pengawasan PHA dan PKA dilakukan mulai tingkat pusat hingga daerah. Pemantaun terkait kemajuan dan tantangan pemenuhan hak anak dan pelindungan anak untuk merumuskan rekomendasi yang solutif terhadap situasi yang ada.
Bentuk-bentuk pemantauan dan pengawasan KPAI yakni: 1) Rapat koordinasi dengan Kementerian/Lembaga (K/L) atau Pemda untuk pengumpulan informasi dan klarifikasi; 2) Pendalaman hasil rapat koordinasi dengan pengawasan lapangan, salah satunya untuk memastikan mendengar suara anak; 3) Memastikan lembaga-lembaga layanan di bawah koordinasi K/L dan Pemda (UPTD PPA, Balai Rehabsos Anak, Rumah Aman, LPKA, LPKS) serta aparat penegak hukum menjalankan fungsinya; 4) Penyusunan rekomendasi hasil pengawasan; dan 5) Advokasi rekomendasi hasil pengawasan kepada pihak-pihak terkait, khususnya kepada Pemerintah, baik tingkat nasional maupun daerah agar menghasilkan perubahan situasi yang lebih berdampak bagi anak.
Sepanjang tahun 2024, KPAI menerima 2.057 pengaduan, dimana 954 kasus telah ditindaklanjuti hingga tahap terminasi. Aduan kasus lainnya telah diberikan layanan psikoedukasi dan rujukan ke penyedia layanan setempat. Pengawasan kasus dilakukan di 78 wilayah mencakup klaster Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Perlindungan Khusus Anak (PKA). Isu terbanyak yakni lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (1.097 kasus); anak korban kejahatan seksual (265 kasus); anak dalam pemenuhan pendidikan, pemanfaatan waktu luang, budaya, dan agama (241 kasus); anak korban kekerasan fisik psikis (240 kasus), serta anak korban pornografi dan cyber crime (40 kasus).
Anak-anak korban berasal dari berbagai rentang usia. Jumlah terbesar pada balita usia <1–5 tahun (581 kasus), diikuti usia 15-17 tahun (409 kasus), usia 6-8 tahun (378 kasus), usia 12-14 tahun (368 kasus), dan usia 9-11 tahun (342 kasus). Anak balita sering menjadi korban karena kondisi fisik dan psikologis yang rentan. Kasus-kasus ini banyak melibatkan orang tua, terutama ayah kandung (259 kasus) dan ibu kandung (173 kasus). Terdapat pula kasus yang melibatkan sekolah (85 kasus) dan aparat penegak hukum (70 kasus). Sebagian besar pengaduan yang diterima KPAI merupakan kasus-kasus yang mengalami hambatan akses keadilan yang belum selesai di tingkat daerah dan provinsi.
Beberapa kasus anak yang menjadi perhatian utama KPAI selama tahun 2024 antara lain:
1. Kasus Anak dalam lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif masih mendominasi pengaduan yang diterima KPAI, yakni sebanyak 1097 kasus. Jenis kasus yang paling banyak dilaporkan meliputi anak korban pengasuhan bermasalah/konflik orang tua, anak korban pemenuhan hak anak, anak korban perebutan kuasa asuh. Kondisi pengasuhan anak di dalam keluarga akan sangat berpengaruh bagaimana kondisi, kepribadian serta interaksi dan sosialisasi anak di lingkungan masyarakat.
2. Kekerasan seksual terhadap anak diadukan 265 kasus dan 53 kasus diantaranya telah dilakukan pengawasan. Jumlah sisanya dirujuk ke lembaga layanan untuk mendapatkan pendampingan dan penanganan lebih lanjut. Tujuh kasus diantaranya terjadi di lembaga pendidikan atau lembaga pengasuhan alternatif. Mayoritas kasus yang diadukan karena anak mengalami hambatan terhadap akses keadilan dan remediasi. Kurangnya pemahaman petugas mengenai Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasaan Seksual dan hak-hak anak mengakibatkan terhambatnya penanganan kasus.
Selain itu, masih ditemukan upaya perdamaian kasus dalam kasus kekerasaan seksual yang melibatkan pelaku dewasa, yang melanggar norma hukum. Keterbatasan lembaga layanan di daerah, terutama di wilayah 3T, serta minimnya tenaga profesional mengakibatkan anak-anak kurang mendapatkan dukungan pendampingan dan rehabilitasi yang memadai. Praktik budaya di beberapa tempat yang masih menormalisasi kekerasan juga menyebabkan banyak kasus anak tidak dilaporkan ke penegak hukum.
3. Anak terhambat pemenuhan pendidikan, pemanfaatan waktu luang, budaya dan agama sebanyak 241 kasus. Dengan kasus yang tertinggi adalah kasus anak korban perundungan di satuan pendidikan yang tidak tercatat dalam laporan di Kepolisian, anak korban kebijakan sekolah, anak korban kebijakan di lingkungan pendidikan, dan anak korban diskriminasi karena tunggakan pembayaran SPP.
Selain itu, masalah serius yang juga muncul adalah tingginya angka anak putus sekolah di Indonesia, yang tentu saja berdampak pada masa depan bangsa yang akan datang. Penyebab utama tingginya angka putus sekolah antara lain faktor ekonomi, budaya, hingga perkawinan anak.
4. Anak korban kekerasan fisik dan psikis sebanyak 240 kasus. Dengan kasus tertinggi adalah anak korban penganiayaan/pengeroyokan/perkelahian, anak korban kekerasan psikis, anak korban pembunuhan, dan anak korban tawuran. Selain itu, KPAI juga memantau dengan serius kasus anak yang mengakhiri hidupnya, filisida yaitu anak korban pembunuhan oleh orang tua atau anggota keluarga terdekat hingga familisida atau pembunuhan satu keluarga termasuk anak, oleh ayah. Meningkatnya kekerasan fisik psikis terhadap anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain budaya kekerasan masih dianggap hal biasa, lemahnya pengawasan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, serta dampak dari game online atau media sosial pada anak.
5. KPAI menerima sebanyak 41 kasus anak korban pornografi dan kejahatan dunia maya (Cyber Crime). Kasus yang paling sering dilaporkan adalah anak korban kejahatan seksual dan perundungan di dunia maya. Penyebab utama dari masalah ini adalah kesenjangan antara pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial dengan rendahnya tingkat literasi digital pada anak-anak dan orang tua. Hal ini mengakibatkan lemahnya pengawasan serta meningkatnya penyalahgunaan dalam penggunaan media sosial, yang berakibat pada munculnya kejahatan lainnya pada anak.
6. Anak terhambat pemenuhan hak sipil sebanyak 22 kasus, dengan kasus tertinggi terkait kesulitan anak dalam memperoleh identitas. Pemenuhan hak anak atas identitas belum mencapai target yang ditetapkan dalam RPJMN 2019-2024. Beberapa wilayah 3T, terutama Provinsi Papua, bahkan menunjukkan penurunan signifikan dalam hal ini, seperti yang tercatat oleh BPS, dimana persentase pemenuhan identitas anak di Provinsi Papua turun dari 53,77 % pada 2023 menjadi 50,85 % pada 2024. Selain itu, empat Provinsi baru di Tanah Papua masih belum memiliki data terkait pemenuhan hak identitas anak.
7. Anak terhambat pemenuhan hak kesehatan dasar dan kesejahteraan sebanyak 18 kasus, dengan kasus terbanyak terkait anak sebagai korban malpraktek layanan kesehatan, pemenuhan hak kesehatan dasar, serta layanan jaminan sosial. Selain itu, KPAI juga mengawasi kasus anak dengan gizi buruk dan stunting, yang merupakan salah satu program prioritas nasional. Target penurunan stunting sebesar 14% pada 2024 dalam RPJMN 2020-2024 belum tercapai. KPAI juga memantau Implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di satuan pendidikan dan ruang bermain anak sebagai bagian dari pengawasan terhadap pemenuhan hak kesehatan anak.
8. Anak korban jaringan terorisme. Masih adanya pemahaman agama yang salah mengakibatkan anak menjadi korban jaringan terorisme yang disebabkan oleh anggota keluarga, teman, hingga kelompok khusus yang melibatkan anak dalam aktivitasnya.
9. Anak korban eksploitasi ekonomi dan atau seksual di tahun 2024 didominasi oleh prostitusi yang melibatkan anak, TPPO, jual beli bayi dan pekerja anak. Pemicu utama (1) permasalahan ekonomi, (2) buruknya pengasuhan (3) penyalahgunaan media dan teknologi informasi serta (4) kekuatan sindikat kejahatan yang menyasar pada anak.
10. Anak-anak di wilayah 3T memerlukan perhatian serius semua pihak, khususnya pemerintah. Beberapa wilayah 3T bahkan mengalami komplikasi masalah karena situasi khusus seperti konflik, yang terjadi di Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Puncak, dan Puncak Jaya serta Kabupaten Pegunungan Bintang. Anak-anak di wilayah 3T yang termasuk daerah berkonflik, mengalami pengabaian dan pelanggaran hak-hak dasar, seperti hak hidup, hak sipil, hak bebas dari kekerasan, hak tumbuh kembang di lingkungan yang layak dan berkelanjutan, hak atas pendidikan dan kesehatan yang layak, dan sejumlah perlindungan khusus lainnya yang dilindungi Undang-Undang.
11. Pemilu dan Pilkada serentak telah dilaksanakan tahun 2024. Terdapat indikasi yang massif keterlibatan anak dalam kegiatan tersebut. Pengawasan KPAI memastikan supaya tidak ada keterlibatan anak dalam kegiatan pemilu. Beberapa kasus eksploitasi dan penyalahgunaan anak dalam konteks politik selama Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024 yang dilaporkan cukup tinggi. Adapun kasus pelanggaran hak anak yang dicatat oleh KPAI sebagai berikut: 6 kasus diadukan secara langsung kepada KPAI dan 50 kasus temuan KPAI di media sosial. KPAI juga mendata sebanyak 108 anak terlibat dalam aksi unjuk rasa Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah di gedung DPR RI. KPAI juga mencatat bahwa Pendidikan Politik bagi pemilih pemula masih minim, walaupun hal ini penting agar anak-anak pemilih pemula dapat membuat keputusan yang cerdas dan bertanggung jawab dalam setiap PEMILU.
Kerja pengawasan KPAI tidak hanya berfokus pada pemerintah atau penegakan hukum. Namun KPAI juga mewadahi pendapat-pendapat anak terkait isu-isu yang berkaitan dengan mereka. Sepanjang tahun 2024, KPAI telah melakukan dua kali konsultasi anak secara online. Pertama terkait perlindungan anak di ranah online bersama 100 anak. Kedua, konsultasi mendalam dengan lebih dari 600 anak baik secara langsung di beberapa titik lokasi pengawasan di seluruh Indonesia termasuk wilayah 3T, maupun melalui zoom meeting, untuk mendengarkan pendapat dan rekomendasi anak-anak atas situasi pelindungan dan pemenuhan hak anak. Pengawasan yang dilakukan KPAI tidak hanya yang dilakukan dengan K/L, Pemerintah Daerah dan Dinas terkait, tetapi langsung bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak. Hal ini membuktikan akurasi dan tingkat komprehensif pengawasan KPAI.
Kondisi anak di atas adalah beberapa kasus besar yang ditangani oleh KPAI, tentu saja masalah anak yang lain masih banyak yang belum tersampaikan namun sudah masuk dalam pengaduan dan sudah terselesaikan. Dengan kondisi ini dan upaya yang sudah dilakukan oleh KPAI, beberapa rekomendasi strategis yang disampaikan adalah sebagai berikut:
1. Mendesak pemerintah daerah, terutama di 10 Provinsi dengan pemenuhan akta lahir terendah nasional, untuk mencapai target 100% pemenuhan akta lahir sesuai RPJMN 2020-2024. Serta K/L terkait dengan pembangunan desa dan wilayah tertinggal agar menjadikan pelindungan anak dan pemenuhan hak anak sebagai perspektif dan strategi pembangunan wilayah tersebut.
2. Mendesak Pemerintah, penyelenggara Pemilu, Partai Politik dan semua elemen masyarakat wajib menggunakan perspektif hak anak dalam melaksanakan hak-hak dan agenda politiknya.
3. Mendesak Pemerintah, khususnya Badan Gizi Nasional sebagai lembaga pengarh program Makan Bergizi Gratis untuk bekerjasama dengan K/L terkait, melakukan proses “mendengar pendapat anak” terkait pelaksanaan program tersebut.
4. Meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk segera menyusun Peraturan Presiden tentang Pencegahan Perkawinan Anak dan Optimalisasi Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak. Mahkamah Agung, harus berkomitmen dalam memperketa prosedur isbat nikah di Pengadilan Agama, khususnya terkait penyalahgunaan pasal 7 ayat (3) huruf e yang sering digunakan untuk melegalkan pernikahan sirri usia anak. Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, perlu menyelerasakan program prioritas dari tingkat pusat hingga tingkat daerah, memperkuat fungsi pencegahan serta penguatan alokasi anggaran DAK non fisik untuk program pencegahan & penanganan perkawinan anak. Serta diperlukan sistem satu data yang mencatat seluruh perkawinan anak, baik yang dimohonkan kepada pengadilan maupun perkawinan yang tidak tercatat.
5. Mendorong pemerintah pusat yang memiliki lembaga layanan pengasuhan untuk membuat standar nasional yang dapat diterapkan oleh masyarakat penyelenggara TPA, TAS, TARA, TAMASYA, Panti Asuhan, Daycare, Comunity Parenting Desmigratif, pondok pesantren dan sejenisnya. Pemerintah daerah juga diharapkan untuk melakukan pengawasan yang berkelanjutan guna meningkatkan kualitas layanan pengasuhan tersebut.
6. Meminta Pemerintah Daerah untuk merevisi Peraturan Daerah terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dengan merujuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan PP Nomor 28 tahun 2024 terkait kewajiban daerah menetapkan dan mengimplementasikan Kawasan Tanpa Rokok dan mengembangkan aturan yang lebih ketat, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah, guna melindungi anak-anak serta masyarakat dari dampak negatif konsumsi tembakau.
7. Meminta Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memperkuat koordinasi dalam pengelolaan sistem penanganan percepatan penurunan stunting, dengan fokus konvergensi data memungkinkan intervensi yang lebih spesifik dan sensitif, sehingga dapat tepat sasaran dalam mengatasi masalah stunting.
8. Mendesak Pemerintah untuk mewujudkan sistem satu data pendidikan nasional, khususnya anak yang tidak sekolah, serta melakukan pemetaan ulang terhadap akses dan mutu pendidikan melalui verifikasi lapangan. Hal ini bertujuan untuk memastikan penyebaran satuan pendidikan yang dapat memenuhi hak pendidikan anak Indonesia. Hasil pemetaan tersebut diharapkan dapat menjadi dasar untuk membuka unit sekolah baru, melakukan regrouping, atau menerapkan sistem pendidikan satu atap (SATAP).
9. Mendesak Pemerintah memastikan satuan pendidikan tidak mengeluarkan peserta didik pelaku atau korban kekerasan, Anak Berkonflik Hukum, Anak Korban Narkoba, Anak Korban KTD (kehamilan tidak diinginkan), serta Anak Korban perilaku menyimpang lainnya.
10. Mendorong pemerintah untuk mengembangkan pendekatan pencegahan yang inovatif dalam keluarga, lingkungan sosial, budaya, dan dunia pendidikan terutama pada pemanfaatan ruang digital yang sehat dan aman, melalui sinergi dan kolaborasi antara Pemerintah dan Masyarakat.
11. Memastikan bahwa pemerintah memiliki strategi yang komprehensif dalam RAN-PE, dengan langkah-langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu serta melibatkan kolabosi aktif dari seluruh pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun daerah.
12. Mendesak pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat penegak hukum dan seluruh pemangku kepentingan untuk menangani kasus kekerasan fisik,psikis dan seksual terhadap anak secara komprehensif dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.
13. Mendesak Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan bahwa setiap kabupaten/kota memiliki lembaga layanan yang memadai bagi anak berhadapan hukum (korban, saksi, anak konflik hukum), serta menyediakan dukungan anggaran dan SDM terlatih sehingga agar memberikan penanganan, pendampingan, rehabilitasi, dan reintegrasi anak dengan optimal.
14. Mendesak aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan anak dengan cepat, transparan dan sesuai dengan Undang-undang SIstem Peradilan Pidana Anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
15. Diperlukan komitmen yang kuat serta peningkatan koordinasi, sinergi dan konsolidasi antara seluruh pemangku kepentingan, terutama Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dipimpin oleh Direktorat PPA dan PPO Polri, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kota/kabupaten. Hal ini penting untuk mendukung tugas-tugas pencegahan, rehabilitasi kesehatan dan sosial, reintegrasi, penegakkan hukum, serta pengembangan norma hukum yang lebih efektif.
Upaya perlindungan anak merupakan jalan sunyi dalam perjuangan panjang bagi pada pembela nilai hak asasi manusia di tengah tantangan masyarakat saat ini. Tentu saja, hal ini bukanlah tugas yang mudah dan memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak, layaknya membutuhkan seluruh negara untuk untuk menyelesaikan kasus anak.
Anak terlindungi Indonesia Maju..
Jakarta, 11 Februari 2025
Komisi Perlindungan Anak Indonesia