SALURANSATU.COM – JAKARTA – Politisi senior PKS asal Sukabumi, drh. Slamet mengkritisi substansi dikeluarkannya Perpu no 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. ia melihat adanya upaya pemerintah mencari jalan pintas untuk menarik investor dengan memudahkan pemanfaatan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil dengan mengganti terminology Perizinan Berusaha bagi pemanfaatan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil dengan kesesuaian pemanfaatan ruang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
“Sekilas hal ini sebenarnya akan memudahkan investor untuk berinvenstasi dalam hal pemanfaatan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Namun jika dilihat secara lebih mendalam terdapat 2 hal yang cukup serius apabila perubahan ini terjadi,” ujar Slamet di Jakarta Jumat (6/1/2023).
Pertama, terkait dengan kerancuan Pelaksanaan teknis antara kewajiban memiliki perizinan berusaha dan pemberian kesesuaian pemanfaatan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil oleh pemerintah pusat.
Dalam UU Pesisir yang sudah disesuaikan dalam UU Cipta Kerja pemanfaatan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil serta pemanfaatan sumberdaya pesisir itu tidak dibedakan persyaratan pemanfaatannya yaitu wajib mempunyai perizinan berusaha.
Namun dalam perppu terjadi penyederhanaan dimana kedua terminology ini dipisahkan padahal pemberian kesesuaian pemanfaatan ruang adalah bagian dari pengurusan perizinan berusaha.
“Pemisahan terminology ini cukup membingungkan apakah dengan hanya memiliki kesesuaian ruang maka diperlukan lagi perizinan berusaha ataukah kesesuaian ruang ini adalah salah satu syarat memiliki perizinan berusaha? hal ini yang perlu dijelaskan pemerintah sebab konsekuensinya cukup besar khususnya terkait investasi asing di Indonesia,” tegas Slamet.
Persoalan kedua, jika melihat struktur dari perppu ataupun UU Cipta Kerja kesesuaian ruang ini termaktub dalam Rencana Detil Tata Ruang atau RDTR. Secara sepintas hal ini akan memudahkan investor, namun disisi lain akan merugikan pihak pemerintah khususnya pemerintah daerah, sebab mayoritas daerah di Indonesia belum mempunyai RDTR sehingga perizinannya hanya dapat dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
“Hal ini tentu akan mengkerdilkan peran pemerintah daerah khususnya pada daerah yang belum mempunyai Rencana Detil Tata Ruang (RDTR),” katanya.
Pemerintah pusat akan sangat leluasa memberikan izin pemanfaatan kepada investor tanpa melibatkan pemerintah daerah. ini akan sangat merugikan kepentingan nasional secara umum.
“Kami berharap pemerintah mau mendengarkan masukan dari masyarakat terkait keberadaan perpu ini, kita tidak ingin pemerintah jalan sendiri dan mengabaikan hak-hak masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangan yang ada,” pungkasnya. (*)