Oleh: Enjang Anwar Sanusi
SALURANSATU.COM – Senin sore (30/1/2023) ba’da Ashar, beredar broadcast di kalangan wartawan bahwa malam itu selepas Maghrib akan ada pengumuman penting dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait koalisi dan Capres PKS di pemilu 2024.
Yang akan mengumumkannya adalah Wakil Ketua Majelis Syuro Dr Mohamad Sohibul Iman (MSI). Disebutkan pula dalam broadcast tersebut bahwa posisinya di Bandara Soekarno-Hatta. Ia baru saja mendarat setelah bertemu dengan Ketua Majelis Syuro Habib Salim Segaf Al-Jufri dan Presiden PKS Ahmad Syaikhu yang sedang mengadakan lawatan ke Turki.
Menjadi jelas arahnya kemana, karena dalam broadcast tersebut disebutkan pula akan ada politisi Nasdem dan Partai Demokrat yang akan ikut hadir dalam konpers.
Oh! Berarti jadi nih Koalisi Perubahan? Begitu yang tertanam di benak pembaca broadcast tersebut.
Banyak yang menunggu langkah PKS. Banyak yang sangat berharap PKS dan Anies Baswedan akan terus bersama. Bahkan saking geramnya, ada beberapa yang komentar negatif. Di dunia nyata, apalagi maya. “Payah nih! Lambat bener bikin keputusan!”
Kali Ini PKS (Lebih) Cerdas
Sebenarnya tidak bisa juga jika dikatakan pernyataan dukungan ini terlambat. Toh partai pemenang pemilu 2019, PDIP yang tak perlu koalisi koalisi pun, belum juga mendeklarasikan siapa yang akan menjadi capresnya.
Kini justru Anies Rasyid Baswedan yang sudah menggenggam tiket lebih dulu. Nasdem, Demokrat dan PKS. Sah! lebih dari dua puluh persen kursi parlemen.
Kenapa sih harus jadi yang terakhir? Kenapa gak inisiatif lebih dulu?
Bisa jadi hal ini memang strategi di tingkat elit. Anies Rasyid Baswedan dan Mohamad Sohibul Iman, keduanya sahabat dekat. Keduanya sama-sama doktor lulusan luar negeri. Anies kuliah di Amerika Serikat, MSI kuliah di Jepang. Keduanya juga sama-sama pernah menjadi rektor universitas swasta yang sama. Chemistry keduanya terjalin lama.
Kenapa harus Demokrat yang lebih dulu deklarasi?
Nah ini yang menurut saya menjadi bagian paling menariknya. Koalisi ini memang harus dibangun dengan minimal tiga partai politik. Jika Nasdem dan Demokrat saja tidak sampai 20 persen, begitu juga jika hanya Nasdem dan PKS.
Sejarah mengatakan, selama dua kali pemilihan presiden, 2014 dan 2019, Demokrat memilih di tengah. Gak mendukung capres koalisinya PDI-P, kurang tertarik pula mendukung koalisinya Gerindra.
Koalisi Perubahan perlu kejelasan itu. Jangan sampai ketika PKS deklarasi duluan, ternyata Demokrat berubah pikiran dan kembali ke posisi netral. Lah ambyar! Maka dengan sabar, PKS menunggu Demokrat deklarasi. Ketika Demokrat sudah deklarasi beberapa hari sebelumnya, nah bungkus! Tarik mang!
Sepertinya begitu.
Bisa jadi!