SALURANSATU.COM – JAKARTA- Dalam pidato kenegaraan sidang tahunan MPR RI dan DPR RI dalam rangka HUT ke-77 RI, Presiden Jokowi menyinggung soal prestasi tidak impor beras konsumsi dalam tiga tahun terakhir sehingga mendapat penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atas keberhasilan sistem ketahanan pangan Indonesia dalam hal swasembada beras.
Anggota Komisi IV DPR RI asal FPKS, drh. Slamet mengatakan bahwa sebenarnya pemerintah tidak benar-benar tanpa impor karena berdasarkan data BPS dalam tiga tahun terakhir sejak 2019 ada impor sekitar 400 ribu ton atau senilai 2,5 triliun rupiah per tahun.
Selanjutnya, Slamet menegaskan bahwa kondisi ini justru membuat khawatir karena dalam posisi 3 tahun tanpa impor tetapi kesejahteraan petani beras justru terpuruk, “Ini aneh dan mengkhawatirkan,”. Pertanyaan yang wajar muncul adalah “Bagaimana nanti bila ada impor? dalam keadaan tanpa impor saja petani beras terpuruk, kok bisa?” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Nilai Tukar Petani (NTP) Umum pada akhir tahun 2021 berada pada angka 104,64 mengalami kenaikan signifikan sejak tahun 2019 (100,5) dan tahun 2020 (101,68). Namun jika kita bedah angka NTP 104,64 itu yang menjadi kontributor terbesar adalah NTP Perkebunan sebesar 120,97, sedangkan NTP Pangan (beras) menjadi kontributor terendah yaitu 98,21.
“Selain itu jika kita cermati NTP Umum inipun pernah kita capai di angka 105,24 di tahun 2012, namun setelah itu turun hingga 100,5 di tahun 2019 dan naik lagi tertinggi di tahun 2021 sebesar 104,64,” ujarnya di Jakarta (18/8/2022)
Ini artinya kesejahteraan petani yang di representasikan melalui nilai NTP tidak dapat dipertahankan oleh pemerintah dalam kondisi terus menanjak tapi selalu berfluktuasi. Artinya kesejahteraan petani tidak menentu dari tahun ke tahun.
“Menurut saya ini ada persoalan besar yang tidak mampu diselesaikan pemerintah hingga saat ini,” ujarnya.
drh. Slamet menekankan, jika keberhasilan swasembada beras tidak diikuti dengan peningkatan signifikan NTP Pangan, maka artinya swasembada itu bukan berasal dari petani dan lahan petani yang sudah ada saat ini, tetapi bisa jadi berasal dari penurunan konsumsi beras ke bentuk lain misalnya gandum.
Diversifikasi konsumsi itu baik tapi jika diversifikasinya ke pangan yang berasal dari impor (gandum) ini bunuh diri namanya, kita akan terus tergantung pasokan dari luar. Kita berhasil swasembada beras tapi kita menuju menjadi negara pengimpor gandum. Dimana akal sehatnya? di tambah lagi saat ini gandum langka dan mahal harganya.
“Ini akan menjadi bom waktu bagi kematian Petani dan lahan pertanian Indonesia, atau dengan arti lain pemerintah ingin lepas tangan dari tugas mensejahterakan petani dan lahan yang sudah ada,” pungkasnya.(*)