Moderat dan Mencerdaskan
Indeks

KPAI Dorong 327 Hak Keluarga Pasien GGAPA Yang Pernah Hilang Dikembalikan

mega career expo

SALURANSATU.COM – KPAI mengapresiasi laporan cepat Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang segera kembali melaporkan 2 kasus gagal ginjal akut pada anak 1 tahun dan 7 tahun. Begitu juga pemerintahan Kota Solo yang melaporkan pasien anak GGAPA.

Kita tentu ingin menurunkan angka kesakitan pada anak, apalagi penyebabnya obat yang harusnya memperingan dan menyembuhkan. Dengan kondisi satu meninggal dan dua lagi anak sedang dalam perawatan.

Data Tahun 2022, ada 324 Bayi, Batita, Balita dan anak yang dinyatakan GGAPA (Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal), maka ditambah 2, menjadi 326 anak, yang dominan terkena adalah umur bayi dan balita.

Sejak ditemukannya kasus di Tahun 2021 sampai Tahun 2023, berbagai upaya telah dilakukan, diantaranya Kemenkes mengeluarkan surat edaran pada Oktober 2022 yang berisi tata laksana dan manajemen klinis GGAPA pada anak di fasilitas pelayanan kesehatan, mekanisme rujukan antar RS, penanganan, dan menunjuk Rumah Sakit yang bisa menangani dan segera melapor bila menemukan kasusnya.

Presiden juga telah berjanji menyelesaikan dengan memberikan 4 arahan kepada Kementerian dan Lembaga terkait pada 24 November di Istana Bogor, kemudian Menteri Kesehatan telah menemukan obatnya untuk menyembuhkan GGAPA pada 22 Oktober dan berhasil menyembuhkan anak anak dalam perawatan. Kepolisian juga terus berusaha mengungkapkan kasus bagi produsen obat yang tetap nakal tidak mengikuti aturan BPOM. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah melakukan pendampingan psikis bagi keluarga korban yang mengalami trauma atas kematian mendadak anak. Karena kematian mendadak, traumanya akan lebih panjang, tidak siap, apalagi jika bayinya anak pertama atau bayi yang sangat diperhatikan karena berbagai sebab. Terbayang oleh kita semua penderitaan keluarga.

Namun terungkapnya tambahan 3 penderita anak tersebut, KPAI berharap ada evaluasi kebijakan tentang masih adanya peredaran obat sirup yang diduga penyebab GGAPA, fasilitas kesehatan dan mekanisme rujukan. Serta 4 arahan Presiden dalam mengatasi GGAPA.

Saya kira peristiwa ini menjadi tanggung jawab penuh dunia pengawasan perlindungan anak, dunia pengawasan peredaran obat dan makanan, kedokteran dan farmasi, Aparat Penegak Hukum (APH) kita. Sehingga penting duduk kembali mengevaluasi kebijakan yang ada dalam efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak dalam mencegah terulangnya Gagal Ginjal Akut anak yang menyebabkan kematian.

Karena korbannya banyak usia bayi, batita dan balita, sehingga orang tua sangat butuh bantuan tenaga kesehatan dalam membaca kondisi mereka yang tidak mudah menjelaskan kondisi pesakitannya, karena butuh alat bantu kedokteran. Kemudian aturan ketat kandungan obat karena bisa berdampak kematian pada anak.

Hak warga negara yang hilang pada kasus ini, hak hidup, hak kesehatan, hak tumbuh kembang anak yang dijamin oleh konstitusi. Ini ada hak-hak warga negara yang hilang loh, tidak sedikit, ada 327 orang, dan yang dihilangkan rata rata hak anak-anak yang notabene adalah bayi yang tidak bisa membela dirinya sendiri.

Persoalan pasien menolak mekanisme rujukan, kami meminta ini dilihat secara lebih utuh ya, jangan sampai penyebabnya karena pelayanan yang terbatas atau kurangnya fasilitas, kemudian dikeluhkan pasien yang merasa perkembangan perubahan kesehatan pasien semakin mengkhawatirkan. Atau ada situasi yang disharmonis antara pasien dan perawatan.

Sebenarnya BPJS telah melalukan evaluasi tentang kelas dalam perawatan pasien, yang seringkali membawa situasi yang tidak menguntungkan bagi pasien. Saya kira ke depan persoalan ini, bisa efektif diatasi dengan BPJS mengeluarkan kebijakan menghilangkan antar kelas dalam perawatan, karena bukti peristiwa peristiwa serupa. Yang sesungguhnya hak pasien untuk sembuh dalam mempertahankan hidup di jamin oleh konstitusi ya.

Mekanisme rujukan juga penting diperhatikan antar RS, karena yang mengerti isi faskes adalah antar RS. Tidak mungkin pasien diminta cari sendiri. Pasien hanya berharap mendapatkan layanan terbaik, tapi tidak bisa mencari dimana rumah sakit yang memiliki fasilitas itu, apalagi sudah panik dengan bayinya yang kondisinya terus menurun dan kritis.

Sehingga penting Kemenkes dan Dinkes di daerah mengecek kembali soal mekanisme rujukan dan faskes ini. Karena sejak awal ditemukan Puskesmas penting memastikan apakah kebijakan yang telah dibuat bisa berjalan atau masih ada kendala. Sehingga pasien bingung di lapangan. Karena tidak semua rumah sakit punya fasilitas untuk penanganan GGAPA.

Kemudian keterangan rilis Kemenkes, terkait keluarga membeli obat yang dibeli secara mandiri, tidak serta merta menyebabkan pasien kehilangan haknya, dalam mencari obat, apalagi kalau dibelinya di apotek. Artinya pengawasan peredaran produk obat sirupnya, yang harusnya segera di stop, diperiksa dan dilaporkan ke BPOM dan Kepolisian.

Saya kira kebijakan Kemenkes sudah jelas, sebagai pihak yang akan membayarkan fasilitas kesehatan kepada rumah sakit, tapi dengan orang tua menolak, tentu perlu asessment lebih utuh, agar Kemenkes dapat memperbaiki sistem mekansime rujukan yang bisa dirasakan pada semua anak yang berpotensi terkena obat yang masih beredar.

Saya kira kebijakan dan nomenklatur Kejadian Luar Biasa bisa di usulkan, tidak hanya untuk penyakit menular, contoh seperti campak yang terjadi sekarang menjadi KLB. Kemudian soal temuan Ikatan Dokter Anak Indonesia tentang 1.645 anak diabetes. Dimana kebijakan maksimal penggunaan pemanis dalam makanan telah di atur BPOM Nomor 11 tahun 2019, tapi angka korbannya tetap berjatuhan, artinya ada kebijakan yang tidak berjalan dalam pengawasan. Hasil evaluasi ini membuat Kemenkes Februari 2023 meminta Kemenkeu mengeluarkan kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan dan plastik.

Artinya dari potret ini saja kita tahu, ada yang tidak efektif meski kebijakannya ada atau BPOM perlu penguat dengan revisi RUU BPOM yang kini berada di meja legislasi. Kita wajib mengupayakan untuk anak, yang tidak bisa membela dirinya sendiri. Sehingga penting kebijakan yang memiliki sistem yang bisa dihidupkan sampai tingkat paling bawah. Karena anak anak adanya disana, tidak bersama kita dalam proses kebijakan di tingkat paling tinggi.

Untuk itu KPAI akan mendorong Kemenkes untuk segera melakukan monitoring dan evaluasi, karena kebijakan penanganan GGAPA sudah sangat jelas, tetapi kenapa dilapangan masih terjadi. Begitu juga kebijakan pengawasan obat dan makanan yang nyata nyata datanya meningkat pada kasus kasus yang terus berkembang setelah GGAPA. Seperti kasus KLB Campak dan Diabetes. Karena jika hak anak tidak berjalan beriringan, hak lainnya juga rentan dilanggar dan anak berada dalam situasi yang lebih buruk.

Saya kira penelusuran Kepolisian sudah sangat jelas soal kasus GGAPA, perusahaan yang terlibat juga sudah terungkap, begitu juga nama perusahaan produksi obat sirup nya telah disebutkan rilis Kemenkes.

327 keluarga pasien, yang diantaranya sedang mencari keadilan, tentu tidak bisa di tinggal sendirian.
Ini kan tidak nalar, ketika keluarga berharap anaknya semakin hilang kesakitannya dan berharap sembuh dengan minum obat sirup, tetapi obat tersebut menyalahi aturan dalam kandungan, karena orang tua tidak bisa mengecek kandungan obat. Apalagi resikonya harus sampai gagal ginjal dan meninggal. Itu lebih buruk lagi. Ini juga bukan soal keterlambatan orang tua. Karena kita tahu anak apalagi bayi tidak mudah menyampaikan apa yang dirasakan. Sehingga membutuhkan stakeholders dunia kesehatan. Tetapi kalau ujungnya pembunuhan, tentu ini sudah masuk ranah kriminal kejahatan ya.

Saya kira penelusuran Kepolisian sudah sangat jelas, perusahaan yang terlibat juga sudah terungkap, begitu juga perusahaan produksi obat sirup Praxion sebagaimana bunyi rilis Kemenkes. Padahal obat ini sudah dinyatakan aman oleh BPOM RI berdasarkan rilis BPOM RI pada Lampiran II Penjelasan BPOM RI Nomor HM.01.1.2.11.22.179 tanggal 17 November 2022 tentang Informasi Kesembilan Perkembangan Hasil Pengawasan dan Penindakan terkait Sirup Obat yang Mengandung Cemaran Etilen Glikol/Dietilen Glikol. Seperti apa pengawasan BPOM RI? Kenapa setelah obat dinyatakan aman, lalu ada kasus GGAPA yang mengkonsumsi obat tersebut.

Masyarakat tentu menuntut pengawasan obat anak, rekomendasi tenaga kesehatan atas obat, sampai penjualannya benar-benar dihentikan. Tanpa harus bilang di bongkar ya, karena kita sangat berkepentingan terkait peradaban obat kita kedepan, jika ini tidak terungkap tuntas. Tentu sangat mengancam kehidupan semua anak Indonesia yang akan terlahir. Dan bisa siapa saja yang terkena, mau anak kita, anak pejabat sampai cucu Presiden. Sehingga benar benar harus tuntas ini soal penyalahgunaan kandungan obat yang dikonsumsi bayi.

Tentu orang tua berhadapan dengan perusahaan dalam mencari keadilan, tidak mudah, negara butuh hadir melakukan pendampingan. Karena ini kan kelalaian pengawasan, dan saya kira kewajiban penggantian pada keluarga pasien patut di dorong dan pidananya tidak bisa dihilangkan. Perlu tindakan tegas, agar ada pembelajaran bagi dunia farmasi dalam pengawasan produksi obatnya, karena aturan BPOM sudah sangat jelas.

Baru saja masuk laporan ke KPAI, salah satu ibu yang juga berprofesi dibidang tenaga kesehatan melaporkan, anaknya meminum 3 kali obat Praxion dan mengalami gejala yang sama. Ini kan mengerikan ya, kalau kita tidak segera mengevaluasi peredaran kebijakan obat dan makanan.

Untuk itu KPAI mengajak, mari kembali lakukan pengawasan, monitoring, evaluasi dan sosialisasi bersama sama. Ini bukan kerja sendirian, butuh partisipasi banyak pihak mengatasi beredarnya obat yang di duga penyebab ginjal akut para bayi. Karena bisa jadi obatnya masih beredar dan dijual, bisa jadi sudah di tangan para orang tua, bisa jadi ada di penyimpanan obat kita. Artinya tidak mungkin sekaligus begitu saja ketika mengeluarkan kebijakan dapat tertangani efektif, butuh waktu, dengan bukti pengulangan kasus ini.

Saya kira jangan sampai belum di cek penyebabnya, tetapi sudah bilang bukan penyebabnya, kita jangan sampai terjebak. Karena ini terjadi pada saat KPAI mengingatkan peristiwa pertama kali di Gambia India, tapi kurang disambut baik dan buru buru menolak penyebabnya bukan itu. Jadi akan menimbulkan pertanyaan besar, apa yang terjadi dengan dunia farmasi dan kedokteran, dalam tanggap darurat soal kematian anak dalam obat sirup. Artinya pengulangan ini, mendorong kita bersikap lebih hati hati dan lebih mempertimbangkan aspek nyawa yang hilang dan segera mencari alternatif, sampai fakta ditemukan. Lebih penting menjaga nyawa anak anak. Jadi terkesan lebih terlihat keterlambatan penanganan, apa mitigasi belum ada dan kenapa pengawasanya tidak di kedepankan atau pengawasannya diperkuat.

Pengulangan ini juga pertanda pentingnya ada tim independen yang bisa melihat penyebabnya secara menyeluruh. Sayang kebijakannya bagus, obatnya sudah ditemukan, tapi dikalahkan oknum oknum yang sudah menguasai pasar obat.

Mari melihat kasus ini lebih utuh, dan tidak membiarkan peradaban obat kita berlumur tak pasti. Karena penanganannya bila terulang seperti kemarin, akan sangat cepat mendatangkan jumlah kematian bayi, karena mereka lemah dan di lemahkan akibat kondisi ini.

Persoalan GGAPA ini adalah tanggung jawab kita semua, kita harus berbagi peran, sebagaimana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 45 bahwa orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Kemudian pasal 2 dalam hal orang tua dan keluarga tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana yang dimaksud maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhinya.

Kemudian berlanjut di pasal 45b bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang Anak dan dalam menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua harus melakukan aktivitas yang melindungi Anak.

Sebenarnya, Badan Perlindungan Konsumen Nasional BPKN RI yang dibentuk Kemendag dalam pengawasan kasus GGAPA telah menyampaikan hasil temuan Tim Pencari Fakta GGAPA kepada Lembaga National Human Right Indonesia (NHRI) dan berkoordinasi antara Komnas HAM, KPAI, Komnas Perempuan dan Komisi Nasional Disabilitas bersama, yaitu:

Pertama, pemerintah dianggap belum memiliki sistem layanan kesehatan terpadu yang bisa mendeteksi kenaikan penyakit tertentu dari daerah maupun fasilitas kesehatan yang mengakibat lonjakan kasus GGAPA terlambat diketahui.

Kedua, koordinasi antara Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selama penanganan kasus GGAPA tidak optimal. Lembaga ini tidak saling mendukung untuk menyelesaikan lonjakan kasus GGAPA secara bersama-sama. Seandainya koordinasi berjalan maksimal, lonjakan kasus GGAPA sangat mungkin bisa ditangani dan dimitigasi lebih cepat.

Ketiga, BPOM sampai saat ini tidak kunjung menetapkan penyebab dari kasus GGAPA disebabkan kandungan cemaran EG dan DEG pada produk obat padahal berbagai fakta sudah menunjukkan kesimpulan tersebut.

Keempat, Tindakan BPOM yang tidak segera mengumumkan hasil pengujian obat obatan yang mengandung cemaran EG dan DEG berisiko membahayakan keselamatan publik. Dalam kondisi darurat BPOM seharusnya mengubah mekanisme pengumuman obat bermasalah tanpa menunggu klarifikasi dari industri farmasi.

Kelima, pengawasan post market oleh BPOM tidak maksimal karena temuan obat sirop yang mengandung cemaran EG DEG baru diketahui setelah adanya lonjakan kasus GGAPA.

Keenam, BPOM diduga tidak memperlakukan industri farmasi dengan adil, Ada perusahaan yang obatnya diduga mengandung cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas, tetapi tidak mendapat sanksi atau ditetapkan sebagai tersangka.

Ketujuh, Kebijakan Kementerian Kesehatan melarang penggunaan, peresepan, dan penjualan obat sirop terbukti mampu menekan angka kasus GGAPA. Kebijakan ini seharusnya didukung oleh BPOM dengan menyetop sementara peredaran obat sirop di pasar hingga ada kepastian bahwa semua bahan baku dan obat jadi aman.

Kedepalan, ada kelalaian instansi Negara atau Otoritas yang mengawasi peredaran produk obat-obatan dan penggunaan cairan kimia yang berbahaya sehingga kasus GGAPA ini terlambat terdeteksi dan ditangani.

Salam Hormat,

Jasra Putra
Wakil Ketua KPAI