Menteri Pendidikan RI mengatakan agar guru melakukan inovasi. Istilahnya guru harus melakukan pembaharuan secara kreatif dan produktif. Hal ini disampaikan pada moment bersejarah Hari Guru, yang diperingati secara nasional. Dari rasa kegembiraan itu, masih banyak nasib guru yang mengenaskan.
Masih ada sejumlah guru honorer atau non-PNS yang penghasilannya relatif sangat kecil, Rp 350.000-500.000/bulan. Para guru itu beraktivitas di pinggiran pembuangan sampah TPA Bantargebang dan TPA Sumurbatu, Kota Bekasi. Itu pun sudah dibantu insentif Rp 200.000/bln. Nasibnya masih mengenaskan!!
Coba bandingkan dengan gaji para komisaris dan direktur BUMN besarannya beberapa miliaran rupiah per bulan. Luar biasa besar. Gaji seumur hidup para guru honorer itu tidak bisa menutup hanya gaji sebulan para komisaris dan direktur BUMN. Cermin ketidakadilan semakin retak di republik ini.
Ada sejumlah guru honorer hidup di rumah kecil, rumah kontrakan, hidup serba pas-pasan. Bahkan ada guru yang tinggal di gubuk-gubuk pengab, bacin dengan sanitasi buruk sekali. Bahkan sarana MCK pun tidak punya, harus numpang secara kolektif bersama pemulung. Kekumuhan permukimannya begitu terasa dan tampak, namun tidak kelihatan bagi penguasa. Gubuk-gubuk kumuh yang didiami guru itu semacam punya ajian atau jimat tak tampak oleh penguasa.
Untuk memenuhi kebutuhan yang besar harus gali lubang tutup lubang alias hutang sana sini. Bahkan, yang jatuh ke tangan rentenir, dengan bunga pinjaman 10-20%/bulan. Guru honorer jatuh dalam jeratan rente. Hidupnya dikejar-kejar oleh hutang yang beranak-pinak! Sistem rente sedang menghisap tubuhnya yang sudah kerempeng.
Sementara suaminya bekerja serabutan, pengais sampah di TPA, dan ada sebagai sopir, tukang ojek dan buruh pabrik. Jika suaminya upahnya mengikuti standard UMR, masih lumayan hidupnya. Jika pekerjaan serabutan semakin menyedihkan.
Upah guru honorer ditambah income kerja serabutan tidak cukup untuk membiayai kebutuhan dapur, beli sayuran, beli beras murah, minyak goreng, listrik, beli air mineral, biaya pendidikan, dll. Income-nya di bawah standar kemiskinan. Sementara harga-harga kebutuhan pokok primer dan sekunder terus meroket.
Jika kredit sepeda motor harus setor Rp 600.000-700.000/bln pasti keuangannya sebagian besar untuk mencicil kreditan motor. Sementara untuk mencukupi makan sehari-hari akan terasa berat. Dunia tiap hari mendung tetapi tidak turun hujan, gerahnya semakin mencekik dan menguras keringat.
Guna menopang ekonomi keluarga yang tidak mencukupi, ada beberapa guru perempuan honorer menjadi buruh pilah sampah atau gibrik plastik kresek. Mereka memperoleh penghasilan Rp 35.000-50.000/hari. Uang tersebut dapat digunakan sebagai uang jajan dan ongkos sekolah.
Meskipun sebutannya guru honorer tetap saja tugas dan amanahnya yang diemban berat sekali. Seperti guru TK dan PAUD posisinya lebih berat, karena mengatarkan anak-anak pada usia emas (golden age). Di mana kesuksesan manusia ditentukan pada proses pendidikan yang ditempuh pada usia emas tersebut. Artinya, pada pembentukan karakter dan keberhasilan ditentukan pada usia emas, usia 4-12 tahun.
Para guru honorer harus rajin datang ke sekolah, ikut mengerjakan urusan administrasi, belajar Kurtilas, Silabus, harus membuat RPPH, RPPM, dan tugas-tugas lain, belum lagi mengikuti rapat-rapat, pelatihan, dll. Lebih sibuk lagi jikalau Kepala Sekolah galak dan cerewet. Untuk meningkatkan kualitas harus menempuh strata S1 pendidikan atau tarbiyah dengan biaya sendiri. Mereka harus mengeluarkan berbagai biaya kuliah. Mereka ingin meningkatkan kapasitas diri agar tidak ketinggalan zaman. Juga harus menguasai informasi teknologi (IT) sebagai tuntutan seperti dimandatkan oleh pelbagai peraturan perundangan sektor pendidikan dan Kurtilas.
Tuntutan dan tugas guru begitu banyak, guru seperti referensi berjalan meskipun perannya bergeser. Dulu guru dianggap orang yang serba tahu, sehingga harus tahu berbagai ilmu, seperti menguasai proses-proses pembelajaran, penguasaan kelas, media pembelajaran, ilmu pedagogi, ilmu psikologi, dll. Sekarang peran guru bergeser sebagai fasilitator sejalan dengan pertembangan IT.
Bila honor atau insentif guru kecil apakah mampu memenuhi kewajiban yang begitu banyak? belum lagi tuntutan dunia pendidikan? Memikirkan diri dan rumah tangganya sudah pusing, hidup serba sulit. Kondisi seperti itu boleh jadi suasana perasaaan, pikiran dan perilaku guru akan oleng. Hal ini tercermin saat mengajar tidak fokus, tidak total dan hasilnya setelah beberapa bulan murid tidak mandiri, takut dan wajah anak didik suram. Suasana pembelajaran tampak dan semakin keruh ketika hati dan wajah gurunya keruh akibat terhimpit kemiskinan yang melaten atau terstrukturalis!
Sungguh dunia ini tidak adil bagi guru honorer? Padahal pekerjaan dan amanah guru sangat berat, yakni membentuk karakter dan budi pekerti yang luhur dan mulia. Semestinya negara, pemerintah memikirkan nasib para guru honorer tersebut.
Semestinya penguasa dan Pemerintah Pusat memiliki Program Khusus mengangkat nasib guru honorer yang hidup miskin dan di bawah garis kemiskinan. Pertama, Pemerintah Pusat melalui Menteri Pendidikan dapat memberi insentif para guru honorer sesuai dengan UMR. Setidaknya bisa memetik insentif Rp 4,5-4,8 juta per bulan untuk wilayah Kota Bekasi.
Kedua, Pemerintah Pusat dapat menolong dan meningkatkan taraf hidupnya, terutama guru honorer yang berkeluarga tetapi belum memiliki rumah. Seperti mereka yang tinggal di gubuk-gubuk kumuh, kontrakan, dll.
Ketiga, Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah dapat membuka peluang seluas-luasnya untuk mengangkat derajat para guru honorer, seperti peluang usaha kecil sesuai minat dan kemampuannya. Agar guru dapat berinovasi secara produktif. ** 25/11/2019
Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) dan Pendiri Sekolah Pelangi Semesta Alam di Kawasan TPST Bantargebang.