Moderat dan Mencerdaskan
Indeks

Tidak Terasa Manfaat Bagi Petani, PKS Kritik Anggaran Ratusan Miliar Cuma untuk Cetak Kartu

ppdb2025

JAKARTA – Anggota Komisi IV DPR RI asal Fraksi PKS, drh. Slamet menyoroti program kebijakan kartu tani. Tidak main-main, anggaran senilai ratusan miliar hanya untuk mencetak kartu tani. “Uang 300 miliar tersebut sebaiknya digunakan untuk menggenjot produktivitas petani, dari pada habis untuk mencetak kartu tani yang manfaatnya minim dirasakan oleh petani,” ujarnya di Jakarta, Selasa (5/10/2021).

Demi mendorong ketersediaan pangan nasional pemerintah telah mengupayakan berbagai cara mulai dari aspek kebijakan sampai pada dorongan kebijakan pasar untuk melindungi hak-hak petani.

Kendati demikian dari beberapa fakta yang ditemukan sejumlah permasalahan pertanian pun mencuat salah satunya adalah besarnya nilai impor produk pangan Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data impor pangan periode Januari hingga Agustus 2021 Indonesia mengimpor lebih dari 15 juta ton bahan pokok senilai US$ 8,37 miliar atau setara dengan Rp 118,9 triliun (kurs Rp 14.200/US$). Hal tersebut mendapatkan sorotan dari Anggota komisi IV DPR RI drh Slamet.

Dalam keterangannya politisi senior PKS ini memaparkan bahwa persoalan impor pangan adalah ekses dari buruknya tata kelola pertanian di Indonesia, terutama gap atau jarak antara perencanaan dan eksekusi di lapangan yang terlihat bagus dalam laporan saja, tetapi manfaatnya tidak begitu dirasakan oleh petani.

Salah satu yang paling mendapatkan sorotan adalah belum teratasinya permasalahan pengadaan pupuk subsidi bagi masyarakat khususnya melalui kartu tani. Berdasarkan pengamatan di lapangan ternyata keberadaan kartu tani tidak lantas membantu petani untuk mendapatkan akses yang lebih berkeadilan ke pupuk bersubsidi yang sudah menjadi hak mereka.

Padahal program kartu tani ini sudah mulai di programkan oleh pemerintah Indonesia melalui kementerian pertanian sebagai sebuah terobosan kebijakan untuk memudahkan petani mendapatkan akses kepada pupuk bersubsidi. Namun hampir 5 tahun berjalan keberadaan kartu tani justru menjadi polemik berkepanjangan.

“Program kartu tani ini sudah berjalan kurang lebih lima tahun namun keberadaannya bukan menjadi solusi tapi justru menambah persoalan baru dalam rantai distribusi pupuk bersubsidi,” ujar Slamet.

Sejatinya program kartu tani ini memang sudah mendapatkan banyak kritikan baik melalui beberapa penelitian ilmiah maupun pada tatanan implementasinya di lapangan. Sejumlah permasalahan yang mencuat adalah ketidaksiapan infrastruktur khususnya jaringan internet di daerah, ketidaksiapan jejaring kios yang bisa menerima penggunaan kartu tani dan adanya kewajiban saldo minimum dalam kartu tani  yang cukup memberatkan petani dalam upaya penggunaan kartu tani tersebut.

drh. Slamet yang juga sebagai ketua umum Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia (PPNSI) meminta kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan kartu tani atau kalau perlu menghentikan program tersebut karena dianggap hanya merupakan pemborosan anggaran saja.

Menurutnya, saat ini pemerintah telah mencetak dan mengedarkan 15 juta kartu tani dengan harga 20.000 rupiah per kartu artinya akan tersedia anggaran sekitar 300 miliar rupiah yang bisa dihemat untuk dialihkan ke pembangunan sarana-prasarana pertanian seperti irigasi atau ke program-program lain yang menstimulus produktifitas petani.(*)