Pertanyaan untuk Ichsanuddin Noorsy
Oleh: Sapto Waluyo (Pembina CIR)
Tak ada angin, tak ada hujan tetiba beredar potongan video tentang pernyataan Ichsanuddin Noorsy dalam acara diskusi. Pengamat ekonomi itu berbicara dengan penuh emosi dan sangat ekspresif soal biang kerok liberalisasi ekonomi di Indonesia. Tanpa tedeng aling-aling menuding tokoh dan partai tertentu, tapi minim bukti, hanya klaim sepihak dan parsial.
Sebenarnya sumber informasi berasal dari diskusi yang dilaksanakan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jakarta, dan disiarkan Channel Ekonomi Politik Islam pada 24 Oktober 2022. Diskusi itu kemudian diberitakan, antara lain oleh portal berita Kata Logika (29 Januari 2023) dengan judul bombastik (Ichsanuddin Noorsy: Demi Allah, PKS Biang Kerok Liberalisasi Ekonomi). Tak banyak orang yang membaca berita itu dan lebih banyak lagi yang tidak percaya ocehan Noorsy. Potongan video disebar ulang pada momen ketika sejumlah partai politik mulai mendeklarasikan bakal calon presiden yang akan berkompetisi pada pemilu 2024. Ada nama Ganjar Pranomo (diusung PDIP) dan Anies Baswedan (diusung Nasdem, PKS dan Demokrat), sementara koalisi besar masih ragu untuk mengajukan Prabowo Subianto atau figur lain.
Entah, apakah Noorsy tahu bahwa argumentasinya sekarang dipakai untuk mendeskreditkan partai dan tokoh tertentu. Selaku warga masyarakat yang berpikir kritis dan terbuka, kita perlu mendiskusikan ulang pernyataan Noorsy yang terdengar simplisistik. Misalnya, dengan nada emosional ia mengatakan: “Subhanallah, saya bisa buktikan pada Anda, bahwa PKS ikut berkontribusi merusak negeri ini.” Bukti yang disodorkannya adalah pertama, lahirnya UU Penanaman Modal era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Nomor 25 Tahun 2007). “Menteri Pertanian dari PKS, Anton Apriyantono. Dari dia awal liberalisasi sektor pertanian,” kata Noorsy.
Bukti kedua, UU Migas Nomor 22 Tahun 2001. Saat itu, “Irwan Prayitno, dulu Ketua Komisi VIII DPR RI kader PKS. Orang dibalik liberalisasi sektor Migas,” ujar Noorsy meluapkan emosinya. Dia menyatakan telah bertemu langsung dengan Anton saat menjabat Mentan dan Irwan ketika menjadi Ketua Komisi VIII DPR, bahkan berbicara di depan anggota Fraksi dan pengurus PKS. Noorsy mengaku sangat jengkel dengan PKS, yang bersama Demokrat meliberalisasi sektor strategis melalui menjual pasal atau aturan dalam UU.
Perlu diingat, ketika diskusi ekonomi dilaksanakan DMI dengan narasumber Noorsy (tahun 2022), telah berlaku UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan inskonstitusional terbatas. Namun Pemerintahan Joko Widodo bukan merevisi UU Ciptaker bersama DPR RI, malah mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang kemudian dibahas dan disahkan DPR RI menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 yang berlaku sejak 31 Maret 2023. PKS jelas-jelas menolak UU Ciptaker 2020 dan Perppu Ciptaker 2022. Apa kaitan UU Ciptaker (2020/2023) dengan UU Penanaman Modal (2007) dan UU Migas (2001)? Di situlah substansi “liberalisasi ekonomi” yang dipraktekkan di Indonesia (oleh penguasa) dalam perspektif jangka pendek atau jangka panjang, sehingga masyarakat tidak terjebak pada tudingan tanpa dasar pengetahuan yang benar.
Dalam tinjauan hukum, UU Ciptaker telah melakukan beberapa penyesuaian terhadap UU Penanaman Modal, antara lain: ketentuan yang berlaku mengenai penanaman modal di seluruh sektor di wilayah Republik Indonesia harus mematuhi UU Ciptaker, bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal (Daftar Negatif Investasi) dikurangi menjadi 6 bidang usaha (yang lain bebas), mencabut kewajiban pemerintah pusat untuk menetapkan bidang usaha yang dicadangkan bagi pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, perubahan kriteria penanaman modal yang mendapatkan insentif (Hukum Online, 25 November 2021). Hal itu tidak dibahas Noorsy, sehingga mengaburkan sekaligus menguburkan pandangan yang komprehensif dan obyektif, karena mungkin terperangkap trauma personal.
UU Migas juga tak kalah kompleks, karena lebih dari dua dekade gagal direvisi. Banyak kekuatan politik dan pemodal yang berkepentingan, sehingga tidak logis apabila tanggung-jawab penetapan UU hanya dibebankan kepada satu kekuatan politik, apalagi hanya partai menengah yang eksis dengan modal mandiri. UU tersebut sebagai landasan hukum pembaharuan dan penataan kembali usaha migas. Mengingat UU Prp. Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dianggap tidak memadai. UU Migas tahun 2001 dikuatkan oleh Perpres Nomor 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Selanjutnya kebijakan tersebut diimplementasikan dalam blue print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 oleh Kementerian ESDM (Purnomo Yusgiantoro). UU Ciptaker tidak membawa perubahan berarti terhadap UU Migas, hanya menegaskan bahwa kontrak kerjasama migas digantikan oleh izin berusaha yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, dengan prinsip mempermudah investor.
Penulis tidak memperoleh informasi yang lebih detail dari argumentasi Noorsy karena topik diskusi DMI bersifat umum dan pernyataan Noorsy tampaknya spontan, tidak terencana sebelumnya dan tersedia bahan tertulis. Hanya berdasarkan ingatan dan pengalaman personal Noorsy yang bersifat subyektif. Sepanjang catatan publik yang terpublikasi di media massa belum pernah ada topik diskusi yang melibatkan Noorsy dengan tokoh-tokoh partai, termasuk PKS, menyangkut kebijakan liberalisasi ekonomi di sektor pertanian dan migas. Untuk itu, Penulis mengontak langsung Anton Apriyantono dan Irwan Prayitno demi memenuhi prinsip cover both side.
Menurut Anton, “Dia (Noorsy) memang pernah datang ke rumah dinas, kalau gak salah bersama bang Rizal Ramli juga. Tapi, saya gak merasa berdiskusi (serius), hanya silaturahim dan mereka memberikan pandangan. Ngobrol-ngobrol (biasa), saya lupa apa persisnya yang mereka sampaikan, mungkin terkait UU Peternakan.” Tampaknya belum ada pembahasan serius, apalagi menyangkut kebijakan liberalisasi ekonomi di sektor pertanian secara khusus, dengan bukti-bukti argumentasi yang kuat untuk merancang kebijakan alternatif.
Irwan Prayitno juga penasaran dengan argumentasi Noorsy, tapi ia cenderung meluruskan dari segi prosedural, karena secara substansial perlu diskusi panjang. “Anggota PK (saat itu) hanya 7 orang dari 550 anggota DPR RI, (tergabung dalam Fraksi Reformasi bersama PAN). Memang saya sebagai Ketua Komisi VIII (bidang energi, sekarang Komisi VII). Pengambilan keputusan di DPR berdasarkan suara terbanyak, apakah mungkin PK menjadi penentu? Selain itu, RUU Migas itu usulan Pemerintah, sehingga pemerintah yang berperan lebih menentukan. Walau saya (atau PK) saat itu tidak setuju terkait substansi UU, maka akan tetap dibahas dan disetujui anggota DPR yang lain dan pemerintah,” ujar Irwan. Sebagai mantan jurnalis dan anggota DPR RI (1997-1999), bila tak salah dari Fraksi Golkar, Noorsy tentu tahu bahwa Ketua Komisi adalah alat kelengkapan Dewan dan berfungsi sebagai koordinator, memimpin rapat dan menjadi juru bicara di bidangnya. Tidak ada anak buah dan kepala dalam Komisi DPR, sehingga tidak bisa mengarahkan, apalagi mendikte sikap anggota yang lain. Tanggung jawab penyusunan UU bersifat kolektif, sementara sikap personal anggota atau Fraksi di DPR tercatat dalam risalah sidang. Semua bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik, tak ada yang disembunyikan.
Kebijakan Mentan Anton Apriyantono
Sambil menunggu diskusi yang lebih substansial, Penulis akan membeberkan sebagian kebijakan Kementerian Pertanian RI di masa Anton, karena pernah mewawancara dan meliput kegiatan sebagai wartawan di media nasional. Anton sendiri penasaran dengan pendapat Noorsy, karena “tidak jelas bukti-buktinya apa saja. Selain itu, kebijakan pemerintah kan tidak ditentukan oleh satu orang. Apalagi Mentan yang tupoksi utamanya adalah bidang produksi pertanian, soal penanaman modal (BKPM) dan perdagangan ya Mendag. (Kebijakan Mentan saat itu) yang dipandang liberal apanya? Saya justru suka berantem sama Mendag gara-gara Mendag bersikap liberal, terutama dalam kebijakan importasi komoditas pangan.”
Staf Ahli Mentan, Baran Wirawan, mencatat sejumlah kebijakan Mentan Anton yang dinilai berkarakter demokratis, bukan liberal. Ketika ada tuntutan impor beras (dunia dilanda resesi pangan 2007-2008); Mentan Anton mengumpulkan seluruh stakeholder perberasan mulai dari asosiasi petani (KTNA diketuai Winarno Tohir), Persatuan Penggilingan Padi (Perpadi diketuai Nurgabita), Bulog, PD Pasar Beras Cipinang, para Kepala Dinas Pertanian dan Kepala Dinas Ketahanan Pangan seluruh Indonesia, BPS, dan perwakilan dari Kementerian yang mengurusi perberasan. Tidak cuma rapat koordinasi, Anton juga melakukan stock opname beras nasional dari hulu sampai hilir melalui sidak langsung atau kontak dari seluruh Indonesia.
Rapat pun berlangsung dari pagi hingga tengah malam, bahkan hingga dini hari. Hasilnya, disimpulkan cadangan beras masih mencukupi dan Indonesia tidak perlu impor. Hasil rapat itu disampaikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebagai tindak lanjut, Wapres memimpin langsung rapat di Kantor Kementan untuk menentukan impor atau tidak terkait beras. Alhamdulillah, simpulan rapat sejalan bahwa Indonesia tidak perlu impor beras, tetapi program swasembada diintensifkan dengan bantuan benih, perbaikan infrastruktur irigasi, subsidi pupuk, intensifikasi penyuluhan, dan dukungan lain. Wapres JK pun mewanti dengan berseloroh: “Kantor Kementerian Pertanian ini sangat luas; lebih baik dijual saja jika tidak bisa swasembada beras.”
Sejarah mencatat, tahun 2008, Indonesia dinyatakan Swasembada Beras oleh Badan Pangan Dunia (FAO) di tengah dunia mengalami krisis pangan. Pemerintah Indonesia diundang FAO ke Roma untuk menerima penghargaan tertinggi atas prestasi swasembada beras. Hadir dalam penghargaan yang sangat membanggakan tersebut Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Negara-negara ASEAN pun memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pertanian Indonesia. Waktu Kongres APSA (Asia Pacific Seed Association) di Manila (2008), Menteri Pertanian Filipina menyampaikan salam dan apresiasi yang tinggi kepada Anton Apriyantono.
Kebijakan lain, terkait tuntutan impor benih padi hibrida oleh beberapa perusahaan importir benih; Mentan Anton melakukan hal serupa yakni mengumpulkan seluruh stakeholders terkait pengembangan padi hibrida di Indonesia. Para asosiasi petani, produsen benih swasta nasional dan multinasional, produsen benih BUMN, penangkar benih, asosiasi penggilingan dan perberasan, Kepala-kepala Dinas Pertanian seluruh Indonesia, dan stakeholder lain. Waktu itu, Anton mengarahkan agar stakeholder menuntaskan berapa target pertanaman padi hibrida, berapa benih dibutuhkan, berapa yang tersedia dalam negeri, dan berapa yang diimpor (mengingat produksi benih hibrida masih tergolong sulit akibat iklim Indonesia yang berbeda dengan negara-negara pengembangnya di China dan India yang subtropis). Rapatlah yang memutuskan bahwa alokasi impor masing-masing perusahaan pun diputuskan bersama secara musyawarah. Selama kepemimpinan Anton di Kementan hubungan dengan stakeholder diakui sangat baik karena sikap demokratis yang diterapkan, termasuk menerima masukan dari pengamat seperti Ichsanuddin Noorsy.
Terkait dengan UU Penanaman Modal, Baran Wirawan tidak melihat kebijakan liberalisasi investasi asing di sektor pertanian. UU itu merupakan konsekuensi dari Paket Pinjaman IMF tahun 1997/1998 tatkala Indonesia mengalami krisis moneter. IMF mensyaratkan Indonesia melakukan liberalisasi perdagangan dan investasi. Jauh sebelum UU Nomor 25 Tahun 2007 lahir, investasi asing sudah mengalir deras; bahkan Bolog pun yang tadinya berstatus Perum berubah menjadi PT, dan fungsi penyangga pangan pun hilang. Itu bukan kebijakan Mentan.
Investasi asing (100 persen) di sektor pertanian yang sudah ada sebelum UU 25/2007 antara lain: PT Dupont (benih dan pestisida), PT Syngenta (benih dan pestisida), PT Bayer (benih dan pestisida), PT Charoen Phokphand dan anak perusahaannya (benih, pestisida, pakan, dan peternakan ayam), PT Comfeed (pakan), Samsung Gold Coin (pakan dan peternakan), PT Sheerad (pakan dan bibit ayam), Gutree Plantation (sawit), dan lain-lain. UU Nomor 25 itu vokal pointnya di BKPM dan Kementerian Keuangan memberikan kesamaan perlakuan terhadap investor baik dalam negeri maupun asing akibat tekanan IMF.
Bila Noorsy jeli dan obyektif, maka perlu memeriksa sikap dan kebijakan kementerian-kementerian teknis dalam merespon UU Penanaman Modal dari kebijakan sektoralnya. Sebagai contoh adalah UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Hortikultura membatasi bahwa investasi asing di sektor hortikultura hanya 30 persen. Tentu ini bertujuan agar investasi dalam negeri yang mendominasi. Lalu, dari mana Noorsy berkesimpulan bahwa Mentan Anton memelopori liberalisasi ekonomi khususnya sector pertanian? Mengapa tidak diperiksa dan dikomparasi kebijakan kementerian lain? Ada hal yang menarik pasca keluarnya UU Nomor 25/2007, mungkin Noorsy juga tidak memperhatikan, bahwa Sri Mulyani (Kepala Bappenas dan Menkeu pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I) akhirnya diangkat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia (2010-2016). Begitu pula, Gita Wiryawan yang menjabat Kepala BKPM pada KIB I akhirnya menjadi Mendag di era KIB Jilid II.
Bagi masyarakat awam, kesan utama yang melekat pada masa kepemimpinan Mentan Anton adalah banyaknya buah-buahan lokal beredar di pasar dengan harga terjangkau. Buah impor waktu itu masih terbatas dan mahal. Buah manggis, sawo, kesemek, rambutan Aceh, jeruk Medan, apel Malang, pisang Ambon dll mudah dicari, bahkan menjadi hidangan pencuci mulut di Istana Negara serta kantor-kantor pemerintah. “Itulah kebijakan promosi dan proteksi; promosi agar produk pertanian masuk pasar ekspor dan proteksi agar pasar dalam negeri tidak dibanjiri produk impor. Instrumen yang digunakan adalah karantina dengan technical barrier (karena tax barrier dilarang WTO), artinya kita memberikan persyaratan yang ketat untuk produk-produk yang masuk ke dalam negeri. Karenanya data kita perkuat agar kalaulah terjadi impor tidak mendistorsi pelaku pasar dalam negeri,” jelas Baran. Dengan sikap dan warisan kebijakan itu, pantaskan PKS (secara khusus Mentan Anton) disebut biang kerok liberalisasi ekonomi di Indonesia? Biarlah publik yang akan menilai.
Pertanyaan untuk Noorsy
Sebagaimana saran Irwan Prayitno, untuk membahas substansi kebijakan migas di Indonesia perlu waktu diskusi tersendiri. Agar tidak terjebak pernyataan sepihak ala Noorsy: “Kalau tidak paham tentang akar masalah, jangan… Anda dikasih bunga, Anda nikmatin. Anda dikasih buah, Anda nikmatin. Padahal, bunga dan buah itu menyesatkan.” Penulis melihat Irwan Prayitno bukan tipe oportunis. Dari sebuah sumber valid yang tidak pernah diungkap ke publik, Penulis mengetahui bahwa Irwan pernah ditawari Presiden SBY untuk bergabung dalam kabinet pasca pemilu 2004 sebagai Menteri ESDM (Energi dan Sumberdaya Mineral). Tapi, Irwan tidak menerima tawaran begitu saja, melainkan menyerahkan sikap kepada Majelis Syura PKS. Putusannya, Irwan tidak bisa menerima tawaran sebagai Menteri ESDM karena bukan ahli energi dan pertambangan, melainkan Guru Besar dalam bidang SDM (Sumberdaya Manusia). Kriteria kompetensi menjadi pertimbangan utama PKS, akhirnya Irwan didorong menjadi Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (2010-2020).
Penulis mencatat pertanyaan untuk diskusi lebih lanjut:
1. Liberalisasi ekonomi seperti apa yang berlaku di Indonesia, terutama dalam sektor pertanian dan migas yang menjadi sorotan utama? Siapa yang bertanggung-jawab terhadap kebijakan liberalisasi di sektor pertanian dan migas, serta bagaimana tanggung-jawab itu diimplemantasikan?
2. Sejauhmana peran partai politik dalam ranah legislatif (sebagai anggota Fraksi atau pimpinan Komisi DPR RI) maupun eksekutif (bergabung dalam pemerintahan koalisi sebagai Menteri)? Bagaimana tanggung-jawab parpol dalam pembuatan UU dan kebijakan teknis Kementerian?
3. Sebagai evaluasi kolektif, seberapa besar dampak liberalisasi ekonomi di Indonesia pasca reformasi yang ditandai oleh penandatangan letter of intent (LoI) oleh Presiden Soeharto dan IMF? Apakah alternatif dari kebijakan liberalisasi adalah proteksionisme ekonomi yang sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945, bagaimana implementasinya?
Pertanyaan itu tentu saja ditujukan terutama kepada ekonom Noorsy sebagai pemantik diskusi, namun juga melibatkan sosok Anton Apriyantono (Mentan RI periode 2004-2009) dan Irwan Prayitno (Ketua Komisi VIII DPR RI periode 1999-2004). Penulis percaya, baik Noorsy maupun Anton dan Irwan akan bersedia untuk diskusi lebih lanjut mendudukkan masalah, demi pemahaman publik yang lebih berimbang dan obyektif. Pengamat ekonomi makro atau yang secara khusus mencermati sektor pertanian dan migas dapat bergabung sebagai partisipan untuk memperkaya sudut pandang. Sementara kepada warga netizen diingatkan agar lebih cerdas mencerna konten video atau posting yang bombastik dan agitatif. Jaga akal sehat dan kejernihan hati kita di bulan Syawal, setelah satu bulan digembleng dalam akademi Ramadhan.
Minal aidin wal faizin, maafkan lahir dan batin. Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin…Kondangan boleh kurangin, korupsi jangan kerjain. (Potongan lagu “Selamat Lebaran” karya Ismail Marzuki, 1950-an). []