Moderat dan Mencerdaskan
Indeks

DPR RI dan KPAI Dorong RUU Kesehatan Lebih Perspektif Anak

ppdb2025

SALURANSATU.COM – JAKARTA – Komisi IX DPR RI dan Kelompok Kerja RUU Kesehatan Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia hari ini (7/6/2023) melaksanakan pertemuan pencapaian pembahasan Rancangan Undang Undang Kesehatan yang kini sudah masuk ke tahapan Tim Perumus.

Diterima Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, KPAI yang di wakilkan Komisionernya Jasra Putra dan Kawiyan menyampaikan telah melaksanakan 3 kali FGD dari 11 Mei, 25 Mei dan 6 Juni. FGD pertama adalah identifikasi permasalahan hak kesehatan dasar anak, FGD Kedua kebijakan dan politik anggaran, dan FGD ketiga pengendalian zat adiktif yang dalam prosesnya melibatkan Kementerian dan lembaga, CSO, NGO dan komunitas.

Problematika Kesehatan Anak Terkini

Kebijakan perlindungan anak mengamanatkan tugas mulia negara dalam mengintervensi anak sejak dari kandungan hingga 18 tahun. Artinya ada prasyarat bagi RUU Kesehatan untuk melakukan segala upaya untuk memenuhi hak kesehatan anak sejak dari perencanaan kandungan. Artinya perlu intervensi sejak dini, sehingga anak terhindar dari segala ancaman dan hambatan yang dapat merugikan tumbuh kembangnya.

Artinya penting segala upaya kita melakukan pencegahan secara sistemik agar berdampak ke seluruh anak. Untuk itu KPAI menyerahkan Kertas Kebijakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terhadap penyusunan Rancangan Undang Undang Kesehatan dengan metode Omnibus Law yang akan menyatukan beberapa kebijakan terkait isu kesehatan kepada Komisi IX DPR RI.

Karena pada kenyataannya banyak hal yang menyebabkan perlambatan tumbuh kembang anak, pemahaman, emosional, yang seharusnya dapat di intervensi berbagai program pemenuhan hak anak, namun menyebabkan generasinya tidak siap.

Hal ini di akibat kan masih banyaknya hal yang belum menyentuh hak-hak kesehatan anak untuk memperoleh layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, inklusif, tidak diskriminasi, serta ramah anak; di Indonesia.

Berbagai isu krusial kesehatan anak saat menjadi perhatian seperti prevalensi Stunting yang menurut Kemenkes masih tinggi diangka 24,4 persen; fenomena konsumsi rumah tangga yang lebih memilih rokok di banding membeli makanan bergizi yang tentu berdampak panjang pada kondisi kesehatan anak dan anggota keluarga; masalah kematian ibu melahirkan; tingkat kasus kematian anak di periode neonatal (pasca lahir 0-28 hari) yang tinggi, dimana sebagian besar kasus-kasus kematian yang terjadi adalah akibat penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi, seperti pneumonia dan diare; gizi buruk; fenomena 326 anak minum obat sirup beracun yang menyebabkan gagal ginjal dengan 204 anak meninggal dan lainnya dalam pengobatan lanjut, yang sampai sekarang belum ada yang megnambil tanggung jawab penuh atas kejahatan tersebut.

Kemudian anak anak yang mengalami kelainan genetik, seperti talasemia, yang harus menyebabkan anak menjalani transfusi darah sepanjang hidup; Jajanan hits anak yang belum lama ini menyebabkan keracunan seperti Chiki ngebul; belum adanya aturan batasan zat pemanis jajanan anak yang menyebabkan Ikatan Dokter Anak Indonesia menyampaikan adanya data 70 kali lipat anak menderita diabetes tipe 2 di tahun 2023; masalah lain yang mengemuka adalah tingginya tingkat malnutri yang berakibat pada fenomena stunting, wasting, dan underweight; serta tingginya prevalensi penyakit tidak menular seperti diabetes dan hipertensi (Harmoniati, 2023); kemudian rendahnya angka harapan hidup anak penderita kanker, fenomena cara mendekati anak oleh orang dewasa melalui gawai yang membawa gangguan perilaku sampai ganguan jiwa, dampak tsunami kekerasan anak yang terjadi saat ini tentu yang paling terdampak dan terlihat adalah masalah kesehatan anak di masa depan.

Situasi tersebut mengancam anak anak mudah masuk dalam kategori perlindungan khusus anak yang menyebabkan anak anak berkebutuhan khusus, anak penyandang disabilitas, anak berpenyakit berat, anak mengalami perlambatan pertumbuhan baik fisik, kognitif dan emosinya. Sehingga harapan besar kepada derajat kesehatan optimal anak, sesuai amanat Undang Undang Perlindungan Anak tidak terjadi dan membawa keluarga Indonesia pada situasi rentan.

Belum selesai permasalahan kesehatan anak sejak dalam kandungan dan anak anak yang lahir dengan kondisi pelambatan, kita langsung dihadapkan anak anak yang lahir dalam gempuran industri candu, zat adiktif, narkoba, zat psikotropika, minuman beralkohol, rokok dan produk tembakau lainnya.

Soal JKN Dalam Pemenuhan ABK dan APD
Pada pasal 422 dinyatakan Pendanaan Upaya Kesehatan perseorangan dilakukan melalui penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan/atau asuransi kesehatan komersial.

Bagi kami, untuk beberapa kasus yang menjadi focus adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan Anak Penyandang Disabilitas (APD). Faktanya melalui data Susenas kebutuhannya tidak dapat terpenuhi oleh mereka, karena pada saat rawat jalan atau rawat inap kebutuhan mereka yaitu mendapatkan rehabiltiasi dan paliatif tadi.

Nah untuk ini, masih ada keterbatasan. Bahwa ABK dan APD, membutuhkan tahapan, pertama tahapan bagaimana mendeteksi sejak awal hingga berusia 1 tahun, mengetahui sejauh mana potensi si bayi tersebut memiliki kebutuhan khsuus.

Tahapan kedua adalah intervensi dini, dalam bentuk rehabiltiasi dan paliatif. Kedua akses tersebut (deteksi dan intervensi) yang dalam RUU disebut dengan skrinning, makanya penting arti skrining disini harus diperluas manfaatnya. Karena selama ini mengalami kendala akibat kurangnya akses layanan dan informasi layanan.

Untuk itu butuh upaya serius pemerintah dalam mempersiapkan dukungan pembiayaan. Mengapa hal ini penting? Karena menyangkut tumbuh kembang si anak dari usia 0 – 5 tahun hingga usia mereka memasuki usia sekolah.

Dari data menunjukkan total kelahiran bayi pertahun 4,8 juta. Dari total angka tersebut 11 persen tidak ditangani petugas kesehatan yang terampil. Sehingga setiap tahun tercatat 147 ribu anak meninggal dunia, serta lebih dari 15 ribu ibunya meninggal.

Lalu dalam hal pendidikan terdapat 67% anak usia sekolah dari total 2.197.000 anak dengan disabiltas tidak melanjutkan pendidikan formalnya. Sehingga penting sekali theraopy intervensi sebelum masuk usia sekolah.

Berdasarkan hasil studi terbaru Komisi Nasional Disabilitas di wilayah propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, tekait layanan deteksi dini dan intervensi dini pada anak ABK dan APD. Terdapat disparitas dalam hal kebijakan pembiayaan. Tetapi terlepas dari itu semua, peran unit layanan yang disediakan pemerintah daerah telah memberikan dampak yang positif. Walaupun jumlahnya masih sangat sedikit, tercatat dari masing masing tingkat Kabupaten atau Kota baru menyediakan 1 unit. Dengan skema pembiayaan yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan hak anak, menuju golden age, sudah selayaknya anggaran kesehatan menjadi 20 persen. Sebagaimana mengacu Undang Undang 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 54 bahwa Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dimana anggaran 20 persen itu diharapkan dapat mewujudkan derajat optimal kesehatan anak untuk tumbuh kembangnya. Terutama dalam deteksi dini, intervensi dini, rehabilitasi dan alat bantu yang sesuai kebutuhan anak, termasuk anak disabilitas (ABD) dan anak berkebutuhan khusus (ABK). Disisi lain, masyarakat terutama anak anak, ABK dan ABD membutuhkan akses informasi dan layanan yang tersedia, terjangkau dan memadai.

Maka peningkatan anggaran ini, tentu menjadi signifikan untuk memenuhi hal tersebut. Karena anggaran kesehatan sekarang sudah tidak memadai dengan perkembangan kesehatan global dan dampak perubahan iklim yang mengubah cara perlindungan anak.

Kenapa hal ini penting, karena kita mengetahui intervensi sejak dini menjadi gerbang penentu awal keberhasilan pengurangan dampak buruk kesehatan sebagai penunjang tumbuh kembang anak yang optimal.

Akibat berbagai kondisi tersebut diatas terjadi pelambatan, yang akan berdampak ke keseluruhan tumbuh kembang, yang berarti hak pemenuhan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, partisipasi, dan hak anak lainnya, meski di anggarkan, namun dalam memahami itu semua anak terkendala dengan daya tangkap, daya paham, daya literasi, daya emosi, daya tahan yang menyebabkan perlambatan di semua sisi. Sehingga bukannya mencerdaskan namun menjadi ancaman. Sehingga pertumbuhan dan program yang baik, akibat kesehatan yang telat di deteksi dan intervensi.

Namun KPAI memberi apresiasi, terkait masuknya kebijakan skrining dan visum, karena selama ini menjadi kendala dan hambatan. Skrining ini menjadi pintu masuk kita, bagaimana tumbuh kembang anak ke depan, seperti skrining mulai ibu merencakan kehamilan, saat mengandung, dan saat melahirkan dalam memastikan status tumbuh kembang, status gizi. Visum menjadi penting memiliki tahap awal yang tidak salah, karena bila tahapannya salah, akan berdampak pada pemulihan secara keseluruhan anak. Sehingga skrining dan visum yang diperluas sesuai kebutuhan anak penting menjadi lembaran penjelasan nantinya dalam RUU ini.

Untuk itulah KPAI memberi catatan kritis tentang Rancangan Undang Undang Kesehatan:

  1. Materi RUU Kesehatan belum menyentuh hak-hak kesehatan anak untuk memperoleh layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, inklusif, tidak diskriminasi, serta ramah anak;
  2. Sasaran transformasi sistem kesehatan masih bersifat umum serta kurang memperhatikan fakta-fakta empiris di masyarakat terkait kondisi kesehatan anak. Transformasi sistem layanan kesehatan memerlukan keseriusan negara agar terarah pada optimalisasi layanan kesehatan untuk menekan tingginya angka kematian neonatal dan stunting;
  3. Pemenuhan hak dasar atas layanan kesehatan masyarakat perlu memperhatikan tindakan afirmatif sebagai upaya menjawab tantangan pemenuhan hak dan perlindungan bagi anak, anak berkebutuhan khusus, serta anak penyandang disabilitas, dalam rangka peningkatan derajat optimal kesehatan, tumbuh kembang, dan produktifitas mereka. Karena itu, RUU Kesehatan perlu memberikan perhatian pada poin-poin berikut:
    a. Mendorong upaya preventif, kuratif, promotif, dan rehabilitatif bagi kesehatan anak sejak dalam kandungan, serta khususnya bagi anak berkebutuhan khusus dan anak penyandang disabilitas;
    b. Perlindungan dari kasus-kasus malpraktik medis pada anak dalam memperoleh akses layanan kesehatan;
    c. Menetapkan subyek hukum pada kasus-kasus kekerasan fisik, emosional, maupun seksual pada anak. Termasuk dalam hal ini adanya jaminan pembiayaan visum dalam, sebagai bentuk advokasi perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan sehingga mempermudah dan mempercepat proses penyelidikan hukum;
    d. KPAI juga melihat masih adanya permasalahan krusial dalam perspektif perlindungan anak di bidang kesehatan, seperti penetapan kondisi luar biasa (KLB) dan kompensasi negara pada kejadian-kejadian yang merugikan kesehatan dan berdampak permanen pada anak. Contoh kasus yang mengemuka dalam hal ini adalah kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) yang dialami oleh lebih dari 326 anak, dimana 204 diantaranya meninggal dunia.
  4. Adanya kebutuhan akan jaminan pembiayaan kesehatan bagi anak, anak berkebutuhan khusus, dan anak penyandang disabilitas, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Jaminan pembiayaan kesehatan dimaksud termasuk pada penanganan kasus penyakit katastropik pada anak akibat penyakit genetik berat, disabilitas bawaan, kanker, dan penyakit kelainan khusus lainnya;
  5. Pengembangan kapasitas unit pendidikan untuk mewujudkan pendidikan inklusi yang ramah anak, khususnya bagi pemenuhan hak kesehatan anak berkebutuhan khusus dan anak penyandang disabilitas;
  6. Isu perlindungan anak dari zat-zat adiktif, dimana didalamnya termasuk pengaturan terhadap iklan, promosi, dan sponsor rokok;
  7. Isu-isu lain terkait upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak.

Jawaban Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Atas Masukan KPAI

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena menyampaikan mungkin kalau Pokja RUU Kesehatan KPAI dating lebih awal, mungkin bisa mengantisipasi banyak pasal. Karena untuk Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan sudah memasuki ujung atau sudah di serahkan ke Tim Perumus atau Timus. Tapi bagaimanapun juga bahan dari KPAI penting bagi kami, guna Timus merapihkan substansi, narasi, diksi, kata dan kalimat. Nanti terkait perspektif anak yang diberikan KPAI ini akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

Terkait dengan pelaporan banyaknya problem kesehatan anak tahun 2022, seperti yang disampaikan tadi, seperti stunting, gizi buruk, gagal ginjal dan lain lain. Saya kira bagus juga menjadi catatan kami, juga mengingatkan Kementerian Kesehatan agar Undang Undang ini lebih berperspektif anak, agar lebih kuat. Sebenarnya kami di DPR juga nelongso, melihat penganan korban gagal ginjal akut pada anak.

Kami sebenarnya di DPR RI sudah memutus di ruangan dewan, agar para korban gagal ginjal dapat perlakuan dari negara. Baik untuk kesehatannya saat ini dan kedepan, maupun ganti rugi. Ketika kami rapat di dewan Kementerian Kesehatan ok, tetapi kemudian di jawab Menteri Sosial tidak bisa. Padahal itu putusan resmi. Seharusnya Negara bertanggung jawab terhadap anak anak gagal ginjal.

Jadi memang di RUU Kesehatan yang baru, kita meminta bagaimana kalau ada kejadian semacam ini, Negara mesti hadir, dengan atau tanpa melibatkan swasta, tetap hadir. Jadi kan swasta di kasus gagal ginjal anak akibat obat sirup mestinya kan ganti rugi. Saat ini kita tidak punya mekanisme, kita lupa ini. Untuk itu kita dorong ada semacam ganti rugi atau kompensasi dari Negara untuk korban semacam ini. Sehingga kejadian seperti yang disampaikan Menteri Sosial tidak perlu terjadi

Untuk itu tolong KPAI memberi masukan untuk format memasukkan ini dalam RUU Kesehatan. Untuk itu bisa kita masukkan di batang tubuh, minimal masuk penjelasan, jadi ada mekanisme teknisnya.

Saya membaca masukan DIM dan kertas kebijakan, serta surat permohonan audiensi KPAI, saya lihat ada FGD 3 kali yang di selenggarakan dengan menjaring masukan berbagai pihak, terkait kepentingan terbaik anak di RUU Kesehatan. Yang memotret identifikasi masalah kesehatan anak, kebijakan dan politik anggaran. Nah saya kira 3 point diskusi ini dari KPAI plus masukan DIM yang diserahkan ini, mudah mudahan masih bisa kita sisipkan pelan pelan didalam. Tapi ada beberapa hal yang secara umum sudah masuk.

Keinginan Wakil Ketua Komisi IX dalam RUU Kesehatan

Dalam peristiwa Kejadian Luar Biasa isu kesehatan, yang menjadi korban paling besar adalah perempuan dan anak. Itu yang kemarin kami sempat bahas di dewan. Bagaimana melindungi kelompok kelompok rentan dalam KLB agar mendapatkan atensi khusus. Kalau tidak dibatang tubuh ya di penjelasan.

Respon Wakil Ketua Komisi IX tentang Harapan Hidup Anak Kanker

Termasuk juga pelayanan kesehatan itu, tidak cuma sampai rehabilitatif, tetapi sampai pada aspek paliatif. Jadi paliatif kita berikan point, dimana bahwa pendekatan promotif, preventif, rehabilitatif, kuratif, sudah umum, tetapi kami ingin ada paliatif bagi anak anak, seperti anak anak yang terkena cancer. Nah itu, mereka diberikan pelayanan paliatif, sehingga tetap, meski divonis karena umur cancer yang pendek, iya kita tidak tahu ya, yang menentukan tenaga kesehatan, misal 5 bulan. Bagaimana dalam sisa kehidupan anak itu, tetap kita berikan, dalam menjaga tumbuh kembangnya.

Respon Wakil Ketua Komisi IX DPR RI tentang Zat Adiktif

Saya setuju tentang zat adiktif, ini kan zat adiktif sudah diatur mulai dari narkoba, zat psikotropika, minuman beralkohol. Tapi kami mempertanyakan, kenapa itu semua berada dalam satu kluster (narkoba, psikotropika, minol, tembakau). Padaha kan derajat kerusakannya berbeda beda. Sebenarnya aturan sudah ada, hanya tinggal diperketat lagi. Tapi memang idealnya untuk tembakau terpisah, karena dampaknya beda dengan zat lainnya.

Respon Usulan Tambahan Pasal Tentang Produk Tembakau Lainnya

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI tertarik dengan diksi KPAI tentang produk tembakau lainnya. Ok, kami akan bahas ini. Memang ada potensi pengembangan produk, yang tidak akan tercakup, kalau dia menjadi produk tembakau. Masukan ini akan kami bahas dengan teman teman untuk kita rumuskan yang tepat terkait dengan diksi atau norma yang kitia masukan dalam UU ini.

Urusan rokok begini, besok kami akan menerima teman teman pekerja tembakau. Isu rokok di luar RUU Kesehatan ini, kan sebenarnya sudah berkali kali dibahas. Jadi ada kelompok yang anti tembakau dan bekerja di wilayah tembakau.

Hanya kami ini di komisi 9 bermitra dengan Kemenkes dan Kemenaker. Jadi disaat yang sama juga datanglah kelompok ketenagakerjaan. Sehingga ketika total larangan rokok, maka kita juga anggota dewan memperhatikan, -kurang lebih ada 5 – 6 juta orang hidup dari industry tembakau. Disinilah kami dilematis, bagaimana mencari titik tengahnya. Jadi kesehatan tetap jalan tapi kemudian petani, keluarga dan pekerja tembakau tidak mati sama sekali. Ini mohon maaf ya, ibu mereka bilang kepada kami, bapak kami bagaimana kalau tidak kerja ini, kami kasih makan apa ke anak kami.

Jadi karena kita punya problem, satu isu kesehatan yang harus kita jaga agar orang tidak makin banyak merokok dan berbagai macam produk turunannya. Disatu sisi ada tenaga kerja tembakau yang juga harus kita jaga, supaya mereka tetap bisa hidup. Nah ini yang lagi kami cari, bagaimana ada alternatif pekerjaan lain. Dan tapi juga kita jaga, agar dia tidak jadi leluasa bebas. Seperti Ide Bapak Jokowi untuk melarang rokok ketengan, itu bagus. Kemudian terkait usia yang membeli, ini pola polanya yang sedang dijalankan.

Respon Tentang Pasal Larangan IPS (Iklan, Promosi, Sponsor) Untuk Zat Adiktif

Dulu kami pernah dorong yang lebih teknis, kata pemerintah kalau terlalu teknis, akan di atur dalam PP. Pemerintah juga minta ada ruang lebih longgar untuk mengatur aspek teknisnya, Prinsipnya sudah kita mengerti dan bahas juga, dan nanti akan kita turunkan dalam bentuk peraturan pemerintah.

Kalau pembatasan tentang pengaturan ada. Kalau lihat perkembangan terakhir, ini belum sampai pada putusan.

Respon Tentang ABK dan APD

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI berharap ada angka angka yang lebih menohok tentang jumlah anak disabilitas. Jadi kalau bicara 3 juta anak disabilitas berarti ada 1 persen ABK dan APD. 3 juta ini adalah anak berkisar umur 5 – 19 tahun artinya di usia sekolah.

Jasra Putra
Wakil Ketua KPAI

Penulis: Rilis KPAIEditor: Denis