SALURANSATU.COM – JAKARTA – Anggota Komisi IV DPR RI asal Fraksi PKS, drh. Slamet menyampaikan hasil survei baru-baru ini yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), salah satunya adalah lebih banyak petani, buruh dan nelayan yang tidak puas atas kinerja pemerintahan Jokowi – Ma’ruf ketimbang yang puasnya.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ardian Sopa menyebut rapor ‘merah’ pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin merah pada tiga isu. Hal itu mengacu pada hasil survei yang dilakukan oleh pihaknya pada tanggal 4-15 Januari 2023.
Pertama, dalam isu kesejahteraan petani, buruh, dan nelayan. Kepuasan atas isu ini sebesar 42,6 persen. Ketidakpuasan atas isu ini sebesar 51,4 persen. “Lebih banyak yang tidak puas dibandingkan dengan yang puas,” kata Ardian dalam keterangan tertulisnya, Selasa (7/1/2023)
Kedua, isu mengurangi kemiskinan. Kepuasan atas isu ini sebesar 41,5 persen. Sementara ketidakpuasan atas isu ini mencapai 56,5 persen. Ketiga, isu membuka lapangan pekerjaan. Kepuasan atas isu ini 38,3 persen dan ketidakpuasan sebesar 59,5 persen.
“Teriakan saya dan temen-temen komisi IV dalam rapat kerja dengan mitra kami dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan akhirnya mendapatkan pembenaran dari hasil survei ini,” ungkap Slamet.
Hampir semua kebijakan besar Kementerian Pertanian dinilainya tidak logis. “kami yakini akan berdampak negatif pada petani. Mulai dari kebijakan food estate yang akan menggeser fokus dari mensejahterakan petani yang ada menjadi berorientasi pada hasil tanpa kesertaan petani,” jelasnya.
Pergeseran fokus ini menyebabkan menurunnya produksi beras petani tidak sebanding dengan meningkatnya anggaran. Kartu tani yang implementasinya sulit diawasi pihak lain karena menggunakan layanan internet yang terbatas jaringannya.
“Terbatasnya kuota pupuk bersubsidi dan mahalnya pupuk non-subsidi, serta distribusi pupuk yang bermasalah. Kenaikan harga beras akibat kenaikan BBM yang menyebabkan borosnya penggunaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk pengendalian harga pasar yang memicu impor oleh Bulog,” katanya.
Kelemahan Badan Karantina Pertanian di pintu masuknya hewan berpenyakit PMK dari luar negeri menyebabkan merebaknya kematian hewan massal akibat PMK. Terakhir anggaran Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan yang tidak logis terlebih dimasa krisis pangan yang membayangi masa depan dunia.
Kenaikan kontribusi PDB (Produk Domestik Bruto) dari sektor Pertanian dan Kelautan tidak dilanjutkan pada program yang bisa mensejahterakan petani dan nelayan. Kebijakan penangkapan ikan terukur malah menyulitkan nelayan kecil untuk mendapat ikan besar dan menyulitkan nelayan kecil untuk menjadi nelayan besar.
“Teriakan-teriakan kami tidak pernah direspon dengan tuntas dan memuaskan oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan, inilah hasilnya, keterpurukan Petani dan Nelayan.” tegasnya.
Drh. Slamet mengusulkan pemerintah untuk mengambil kebijakan radikal untuk mengubah kondisi ini secara drastis. “Indonesia dihadapkan pada bahaya krisis pangan didepan mata, pemerintah harus mengambil kebijakan yang radikal, diantaranya dengan memberikan subsidi paska panen pada petani, memberikan subsidi solar khusus pada nelayan kecil, dan mengembalikan anggaran Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan pada angka yang dibutuhkan untuk menghidupkan petani dan nelayan yang ada agar dapat meningkatkan hasil produksi mereka,” imbuhnya.
Terakhir, kebijakan penggunaan teknologi pertanian untuk melipatgandakan hasil tidak bisa dilakukan jika harus mengorbankan jutaan petani yang sudah ada. (*)