Ilustrasi: idre.am
Oleh: Satria hadi lubis
Suatu ketika khalifah Umar ra pernah menghukum seorang pencuri, beliau berdoa:
“Ya Allah…kami menghukum dia dari apa yang tampak saja, sedang hatinya urusan+Mu ya Allah”
Amirul mukminin berkata begitu karena sadar bahwa menilai hati orang lain sangatlah sulit.
Yang bisa dinilai dari orang lain adalah perbuatannya.
Apakah kita boleh menilai perbuatan orang lain?
Dan apakah menilai perbuatan orang lain bisa menggambarkan tingkat keimanan dan kemunafikan orang tersebut?
Jawabannya, bisa!
Sebagaimana hadits Rasulullah saw :
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanah dia berkhianat” (HR. Al- Bukhari).
“Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kufur itu adalah meninggalkan sholat”
(HR. Muslim).
Bahkan di dalam al Qur’an banyak sekali ciri-ciri perbuatan orang beriman, kafir atau munafik sebagai patokan kita untuk menilai orang lain.
Salah satunya tentang ciri orang beriman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya,
dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka,
bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan
mereka bertawakal”
(Surat Al-Anfal, Ayat 2).
Jadi, setiap kita sesungguhnya bisa menilai perbuatan orang lain.
Yang dari perbuatan tersebut bisa menggambarkan tingkat keimanan, kemunafikan dan kekafiran orang lain.
Masalahnya tinggal apakah penilaian kita benar atau tidak?
Di sinilah letak perdebatannya. Di sinilah letak ruang diskusi untuk menilai mana yang lebih mendekati kebenaran.
Dalam Islam, ukuran kebenaran adalah mana yang paling sesuai dengan dalil naqli (al Qur’an dan Hadits).
Lalu setelah itu mana yang sesuai hukum/norma positif yang tidak bertentangan dengan dalil naqli.
Baru terakhir, mana yang paling sesuai dengan logika sehat.
Silakan berbeda pendapat dalam menilai sesuatu.
Tapi jangan kita mengatakan “siapa elo yang berhak menilai”.
Ini perkataan khas orang sekuler yang terpengaruh ideologi relativisme.
Sebuah ideologi yang menganggap semua nilai itu relatif, sehingga tidak ada yang benar atau salah.
Dari relativisme inilah muncul ideologi yang sekarang menguasai dunia, ideologi liberalisme.
Ada yang berkata,
“jangan soklah menilai orang lain karena kebenaran hakiki hanya milik Allah”
atau
“urus aja diri loe.
Elu aja belum bener, udah berani menilai orang lain” atau “emang surga hanya milik kamu!”
atau perkataan semisalnya, yang membuat orang menjadi tidak percaya diri
untuk menilai orang lain, sehingga berkembanglah budaya individualistik
yang tidak peduli dengan kelakuan menyimpang orang lain.
Tidak berani menegur tetangganya yang kumpul kebo,
temannya yang gay,
bapaknya yang korupsi, dll.
Lalu kerusakan merajalela seperti yang kita lihat sekarang ini.
Jangan heran jika turun bencana di tengah-tengah kita, seperti firman-Nya :
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia;
Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
(Surat Ar-Rum, Ayat 41).
Tugas kita sebagai muslim adalah berani menilai perbuatan orang lain (di samping terus memperbaiki diri).
Allah murka kepada manusia yang telah diberikan mata, pendengaran dan hati,
tapi tidak digunakan untuk menilai mana yang benar dan salah.
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak
dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan
mereka memiliki mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan
(ayat-ayat Allah).
Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yg lalai”
(Qs. 7 ayat 179).
Tugas kita mendekati kebenaran hakiki milik Allah dengan cara terus menilai dan belajar dari kesalahan.
Repot kalau kita tidak boleh menilai.
Nanti kita galau dan bingung terus terhadap perilaku di sekitar kita.
Itulah yang sebenarnya dimaui musuh-musuh Islam agar umat Islam meninggalkan budaya amar ma’ruf nahi mungkar.
Sebab mereka tahu amar ma’ruf nahi mungkar akan membuat umat Islam kembali kepada kejayaannya.
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
(karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf,
dan mencegah dari yang mungkar,
dan beriman kepada Allah”
(Qs. 3 ayat 110).
Ketahuilah…netralitas itu sesungguhnya tidak ada.
Sebab orang yang netral sebenarnya berpihak juga. Minimal berpihak pada ideologi bingungisme (nihilisme).
Dalam Islam, hanya ada dua pilihan nilai :
hak dan batil.
Apalagi untuk hal-hal yang prinsip dan fundamental.
“Dan janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya”
(Qs. 2 ayat 42).
Di akhirat saja hanya ada surga dan neraka.
Surga untuk kelompok hak dan neraka untuk kelompok batil.
Tidak ada tempat untuk orang yang netral dan tidak berani menilai.
Jangan terpengaruh dengan lagu galau,
seperti “engkau milik orang lain, tapi jangan salahkan rasa cinta ini”.
Atau film yang ujung-ujungnya galau, karena endingnya tokoh yang benar jadi jahat dan tokoh yang jahat jadi baik,
sehingga kita empati dengan orang jahat.
Jadi jangan terpengaruh dengan ideologi relativisme yang membuat seseorang tidak berani menilai perbuatan orang lain.
Jika kita beda pendapat dalam menilai orang lain itu wajar.
Silakan terus belajar dan terus diskusi mana yang paling benar.
Lalu berani mengakui kesalahan jika kita salah dan berani memperjuangkan kebenaran jika kita benar.
Wallahu’alam.