Jakarta, 14 Juli 2020- Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) menolak rencana DPR untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja karena pasal-pasal
yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan semangat penyiaran yang demokratis. KNRP menilai revisi yang dilakukan oleh RUU ini terhadap ketentuan yang terdapat
dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, alih-alih memperkuat peran warga negara dalam pengaturan penyiaran justru berpotensi melemahkannya.
Semangat RUU ini adalah menundukkan penyiaran di bawah kendali pemerintah. Setidaknya ada 4 (empat) poin dalam RUU Cipta Kerja yang menjadi catatan kami. Pertama, Pasal 79 Ayat 4 RUU merevisi ketentuan Pasal 33 UU Penyiaran yang
menyatakan bahwa perizinan penyiaran diatur oleh pemerintah dan KPI (Komisi
Penyiaran Indonesia). Rancangan UU Cipta Kerja Pasal 79 Ayat 4 menghilangkan
peran KPI dalam proses perizinan lembaga penyiaran. Bagi kami, ini adalah langkah anti demokrasi. Mencoret KPI yang merupakan representasi publik dari proses perizinan sama dengan mencoret publik.
Dengannya, RUU ini memberikan kewenangan penuh pada pemerintah untuk mengatur perizinan penyiaran dan hanya menyisakan peran KPI (sebagaimana diatur dalam UU Penyiaran yang tidak direvisi oleh RUU ini) semata sebagai pengawas isi siaran. Sudah sejak lama KNRP menolak pelemahan semacam ini. Mendudukan KPI sebagai pengawas isi siaran tanpa kewenangan dalam mengatur perizinan sama saja menjadikan KPI sebagai pengawas tanpa instrumen legal yang memungkinkannya melakukan koreksi secara efektif.
Umum diketahui, sanksi administratif tidak akan punya daya ubah yang
kuat bilamana tidak menjadi alat evaluasi untuk menentukan perpanjangan izin. Hal lain, dengan memberi kewenangan penuh kepada pemerintah untuk mengatur media tanpa pelibatan KPI adalah bentuk pelanggaran dari prinsip check and balance dalam demokrasi. Kalau saja kita mau belajar dari sejarah penyiaran di bawah Orde
Baru, tentu tidak sulit bagi kita untuk memahami bagaimana dampak dari kekuasaan
absolut pemerintah terhadap penyiaran dan media secara umum.
Ironisnya, hal semacam ini tidak masuk sama sekali dalam pertimbangan dari pemerintah dan DPR yang lahir dari rahim demokrasi; setidaknya tidak tampak pada RUU Cipta Kerja yang mereka rumuskan. Kedua, tidak hanya pada aspek perizinan,
Pasal 76 Ayat 4 RUU ini juga mengubah
ketentuan Pasal 55 UU Penyiaran mengenai pengaturan sanksi administratif. Sesuatu
yang telah jelas diatur dalam UU Penyiaran justru hendak diubah dengan memberikan cek kosong pada pemerintah.
RUU ini memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah dengan menetapkan ketentuan pengaturan lebih lanjut sejumlah aspek penting penyiaran (seperti perizinan, sanksi administratif, dan migrasi digital) untuk diatur melalui Peraturan Pemerintah. Tanpa kepastian hukum setingkat UU untuk pengaturan sejumlah aspek penyiaran yang penting akan membuka peluang terjadinya penyelewengan dari praktik penyiaran yang demokratis. Kekhawatiran semacam ini tidaklah berlebihan. Berbagai preseden telah menunjukkan bagaimana ketentuan UU Penyiaran yang kemudian diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah tidak jarang melahirkan kontradiksi dengan UU Penyiaran itu
sendiri.
Contoh paling baik dari hal ini tergambar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaran Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. PP tersebut bertentangan dengan UU Penyiaran Pasal 31 yang menyatakan jasa
penyiaran televisi/radio harus berbentuk stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal. Pada PP 50/2005 Pasal 35 dan Pasal 36, apa yang sudah diatur dengan baik oleh UU Penyiaran justru dikhianati dengan rumusan yang berbunyi “Lembaga Penyiaran radio/televisi DAPAT menyelenggarakan siaran melalui sistem
jaringan”. Dengan demikian, dalam PP ini siaran sistem jaringan adalah sebuah PILIHAN, bukan KEWAJIBAN.
Kasus PP 50/2005 adalah satu saja contoh dari banyak lainnya yang menunjukkan
kontradiksi aturan dalam regulasi kita. KNRP menilai, preseden PP 50/2005 semestinya menjadi pertimbangan DPR kala RUU ini berencana memberi pemerintah kewenangan untuk membuat peraturan turunan dari undang-undang tanpa batas-batas yang jelas. Ketiga, RUU ini merevisi ketentuan tentang batas waktu perizinan yang diatur dalam UU Penyiaran (yakni 5 tahun untuk radio dan 10 tahun untuk televisi). Dalam RUU ini tidak ada jangka waktu izin penyiaran.
Dengan kata lain, RUU ini memberi hak pada lembaga penyiaran untuk menguasai frekuensi selama-lamanya. Bagi kami, pasal ini sama saja mengizinkan privatisasi frekuensi oleh konglomerasi media. Hal ini jelas bertolak belakang dengan prinsip UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yang menyatakan frekuensi sebagai milik publik. Ketentuan ini juga menutup peluang peran serta publik (dalam hal ini diwakili oleh KPI) untuk berperan secara berkala memonitor dan mengevaluasi kinerja lembaga penyiaran. Keempat, Pasal 79 ayat 10 RUU Cipta Kerja ini mengatur tentang migrasi digital dengan menyisipkan tambahan pasal 60A di UU Penyiaran no 32/2020. Ayat 10 ini hanya memandatkan akan melakukan migrasi digital, selambat-lambatnya 2 tahun setelah RUU Cipta Kerja disahkan. Namun bagaimana migrasi digital dilakukan, hanya tertulis akan diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Ini menafikan semua proses diskusi
publik tentang pilihan sistem multiplekser apakah akan menggunakan single mux atau multi mux. Pada periode DPR tahun 2014-2019, wacana pilihan sistem single mux atau multi mux berlangsung dalam ruang publik, sehingga Komisi 1 DPR mendengarkan aspirasi ini dengan memutuskan pilihan sistem single mux pada draft RUU Penyiaran yang tidak jadi disahkan pada periode tersebut.
Jika kemudian sekarang, pemilihan
sistem multiplekser hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah, maka proses dan
pertimbangan penentuan sistem multiplekser tidak akan dibahas di publik. Kembali memberi cek kosong ke pemerintah. Padahal pemilihan single mux atau multi mux, bukan hanya sekedar pilihan teknis semata, tetapi sarat dengan soal kedaulatan negara, persaingan bisnis yang adil maupun soal keberagaman kepemilikan media.
Melalui kajian atas pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja yang mengatur mengenai
penyiaran, KNRP menyimpulkan bahwa RUU ini sama sekali tidak mempertimbangkan
kepentingan publik dalam penyiaran. Karena itu, kami menolak seluruh butir pasal dari RUU ini yang mengatur penyiaran.
Kami melihat tidak ada urgensi untuk memasukkan pengubahan UU Penyiaran 2002 ke dalam UU Cipta Kerja. Revisi UU Penyiaran sejak lama sudah dilakukan dan
selayaknya terus dilanjutkan secara berhati-hati dengan menyertakan partisipasi publik oleh DPR 2019-2024. Pemaksaan masuk revisi UU Penyiaran dalam UU Cipta Kerja terkesan membawa kepentingan para pemodal besar dalam industri pertelevisian Indonesia.
Akhir Siaran Pers
KOALISI NASIONAL REFORMASI PENYIARAN
Narahubung: Bayu Wardhana,
Lestari Nurhajati