Moderat dan Mencerdaskan Masyarakat
Indeks
News  

KPAI Khawatirkan Pengaruh Kerasnya Aksi Massa pada Anak-anak

Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengaku khawatir akan pemberitaan aksi massa “Ganyang Komunis” yang diselenggarakan Alumni 212. Mereka khawatir akan ada pelibatan anak-anak atau pengaruh serangkaian aksi tersebut terhadap kehidupan anak-anak.
“Belajar dari pengawasan dan data kami kepada setiap aksi massa, unjuk rasa, kampanye politik yang melakukan pelibatan atau penyalahgunaan anak-anak. Bila tidak dicegah sejak dini, maka anak-anak akan terus terpapar kekerasan dan menjadi martir bahkan korban yang sia-sia,” ujar Jasra Putra, Komisioner KPAI bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak.
Untuk itu hari ini (5/7) tim KPAI akan melakukan pengawasan langsung aksi massa Ganyang Komunis dengan dugaan anak terlibat atau dilibatkan dalam apel Akbar siang jam 13.00 di Lapangan Ahmad Yani Kebayoran, Jakarta Selatan.
“Bahwa anak-anak yang terus terpapar aksi aksi unjuk rasa, pernyataan sikap politik, di mana anak-anak tidak siap, tidak mengerti substansinya dan konteksnya maka akan lahirlah kekerasan baru, ujaran kebencian baru,” tegasnya.
Jadi KPAI tidak hanya melihat aksi ini seperti yang disampaikan Korlap bahwa akan aman dan tidak ada sampah. “Justru sampah itu adalah perkataan-perkataan yang tidak dipahami anak. Karena melibatkan anak ada prinsip-prinsip yang harus didahulukan, agar aman dan bermakna,” ujarnya.
Berkaca pada peristiwa politik tahun lalu, menggambarkan banyaknya anak yang mengikuti aksi unjuk rasa atau mendengarkan paparan suara keras yang tidak ia pahami. Maka dikhawatirkan anak-anak akan menjadi korban atau pelaku kekerasan.
Data KPAI membuktikan, jika tidak dicegah dari sekarang, maka peristiwa politik tahun lalu kembali menyeret anak-anak bangsa menjadi korban sia-sia. Bahkan sampai sekarang pelaku yang mengakibatkan anak korban susah dibuktikan sampai tuntas.
Untuk itu jelang diselenggarakannya kembali 270 Pilkada di Indonesia. KPAI mengajak Kementerian dan berbagai Lembaga untuk konsentrasi akan hal ini. Karena sudah 4 anak meninggal dan ribuan anak terpapar kekerasan. “Yang kita masih punya PR apakah tahapan penanganannya sudah benar-benar selesai? Karena kondisi aksi massa bertali temali dengan agenda politik bangsa yang perlu jadi perhatian dan kesadaran bersama. Mulai dari pra, ketika pelaksanaa dan pasca agenda politik kebangsaan melalui Pilkada, Pileg dan Pilpres,” ungkapnya.
Defisit regulasi dalam menyertakan anak-anak dalam penyalahgunaan aksi massa, aksi unjuk rasa, dan aksi usaha politik mendulang suara juga melengkapi mudahnya anak anak jadi korban. Karena tidak ada sanksi yang tegas. Bahkan setelah 4 anak meninggal dan ribuan generasi terpapar kekerasan, kebijakan belum bergerak mengantisipasi untuk cegah sejak awal.
“Seharusnya dengan defisit regulasi mensyaratkan negara lebih siap mendidik cara menyampaikan pendapat kepada anak anak kita, lebih inklusif lagi,” kata Jasra.
“Artinya komponen politik harus sadar kondisi ini dan harusnya mendorong kebijakan dalam menyiapkan jiwa-jiwa pemimpin sejak dini kepada generasi kita. Kita belajar dari kasus minim integritas dari para pemimpin, yang harus segera dibenahi,” lanjutnya.
Pihaknya menilai pelibatan anak dalam aksi massa adalah hal yang buruk.
“Karena kenyataannya yang lebih menonjol adalah dampak kekerasan anak, korbannya. Karena memang secara kognitif pemahaman, emosi yang perlu pendampingan. Usianya yang masih butuh figur, bukan menempatkan mereka untuk mencarinya di jalan jalan,” tegasnya.
Dengan kondisi pengawasan anak-anak yang berkurang karena tidak ke sekolah dan beban domestik orang tua yang berlebih di masa Covid juga mengakibatkan anak-anak akan ikut aksi unjuk rasa.
“Pengungkapan kepolisian atas aksi pelajar di isu RKUHP dan RUU KPK, jelas sekali massa pelajar digerakkan, bahkan yang berminat dibuatkan WA grup. Serta dilengkapi aksi Pansos di Media sosial. Tentu dengan dominannya interaksi anak dengan gadget di masa Covid, semakin mengkhawatirkan KPAi,” sambungnya.
“Kami bersyukur ada komponen bangsa yang mulai berani melaporkan seperti KOWANI yang tegas melaporkan pelanggaran yang dilakukan Alumni Persaudaraan 212 yang pada aksi sebelumnya terbukti melibatkan anak-anak,” ujarnya.
KPAI menilai perlunya lebih banyak lembaga yang berani menyatakan bahwa pelibatan anak dalam aksi massa, unjuk rasa dan kampanye politik adalah salah dan siap melaporkan dan menempuh jalur hukum. agar Undang Undang Perlindungan Anak yang ada tidak sekadar puisi tapi bisa tegak lurus di negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak ini.
“Saat ini tercatat jumlah pemilih usia anak (DP4) sebesar 456.256 anak yang akan terselenggara di 270 tempat Kab/Kota. Tentu akan menjadi kerja keras KPU, Bawaslu dan DKPP memastikan anak anak tidak dilibatkan pada aksi unjuk rasa atau kampanye. Namun disisi yang lain bagaimana anak-anak bisa menyampaikan suara dan coblosannya secara bermakna,” jelasnya.
“Namun membiarkan bibit-bibit kekerasan tumbuh di 270 lokasi karena agenda politik bangsa, tentu akan sulit memadamkannya. Mari memberi ruang partisipasi dan penyampaian suara anak yang lebih bermakna,” pungkasnya. (jp)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *