Belajar dari kisah anak.
Anak terus menonton, dan terus akan menjadi generasi peniru, bukan belajar.
Ruang belajar itu milik orang dewasa bukan anak-anak. Karena belajar itu adalah bisnis proses, dari tidak mengenal menjadi tahu, dari tidak paham menjadi mengerti, dari hanya diam menjadi tergerak. Hanya orang dewasa yang mampu dan utuh memahami itu.
Tapi ruang untuk memahami sudah tidak ada. Habis dengan waktu sekolah dan dipaksa ‘belajar’ di rumah. Jam itu sudah habis.
Ortunya ketika pulang tidak mau tahu, karena sudah kerja (capek, Nak), jadi anak harus belajar, semakin belajarnya tidak nurut atau nilai hasil belajarnya jelek, maka orangtua pun akan marah.
Kenapa? Karena mereka sudah menghabiskan waktu dengan bekerja dari subuh sampai malam, tetapi kenyatannya ‘anak tidak pintar dalam belajarnya’
Anak akhirnya dengan waktunya, dan ruang berekspresi yang terbatas berada dalam stress dan psikomatis (bisa tidak ada arahan, stress tinggi – stress itu tidak layak untuk anak)
Di tengah sikap orangtua yang mudah menyerah, terpikirlah orangtua ‘daripada anak-anaknya tidak menentu, diberikan HP (gadget)’.
Tapi orang tua lupa lagi, anak-anak adalah generasi yang tengah bertumbuh kembang, yang butuh ruang gerak. Tidak cukup dari HP. Maka terpaparlah anak-anak setelah melihat HP, kemudian secara alami ia akan bergerak dan meniru apa yang dilihatnya. Dan bergeraknya lebih lama dibanding ia bermain HP sebenarnya.
Tanpa harus mengatakan, ini salah satu penyebab ‘anak bunuh anak’ yang menyita perhatian kita saat ini.
Namun catatan kelam saya di masa lalu, ada 4 anak meninggal pasca tarik menarik hasil pemilu, tapi tidak ada yang mengakui, kecuali anak sawah besar ini.
Tapi yang menarik juga, kalau melihat lebih dalam, produksi film kita dari puluhan juta penonton, penikmat terbesarnya anak-anak. Namun belum ada produksi film yang nampaknya benar-benar untuk anak. Ini bisa jadi koreksi bersama atau tantangan menambah produksi film yang sedang merajai negeri sendiri.
Generasi menonton, generasi peniru, stress belajar, generasi ABG, generasi z. Generasi yang tidak mendapatkan ruang bermain yang layak.
Tapi tetap saja ujungnya, orangtua akan minta anak belajar. Untuk masa depan.
Tapi di kepala anak, tahunya bermain dan meniru.
Iya belajar itu kata orang dewasa, tetapi di kepala anak-anak, itu adalah bermain.
Anak-anak ingin bermain,
Tetapi orangtua yang sadar, akan menyiasatinya menjadi belajar dan human kapital untuk anak, dengan:
Seperti ketika kita kecil diajak bernyanyi
- Satu satu aku sayang ibu
- Balonku ada lima
- Tik tik Tik bunyi hujan di atas genting
- Nina Bobo Nina bobo
Lalu anak diajak kembali bernyanyi sambil bermain, bukan belajar.
Yang belajar itu orangtua, ia menyiasatinya dengan menulis besar-besar di papan, sesuai syair lagu, orangtua membuat media belajar.
Kemudian menyanyikannya sambil menunjuk nunjuk kata di dalam syair, agar anak mengikutinya. Dengan mengajak anaknya meniru dan mengulangi sambil menggerakkan badannya.
Begitu senangnya anak-anak diajak bermain sambil bernyanyi saat itu. Dan anak tiba-tiba merasakan perubahan dan kematangannya. Orangtua berhasil dalam media belajar yang ia buat, dengan menjadikan anak paham huruf dan kata.
Syairnya pun ketika dilihat anak dengan goyangan badannya, tertulis huruf huruf jenaka, yang di belakangnya disertai nama binatang, sesuai abjad awal huruf di setiap syair yang dinyanyikan nya.
Begitu cintanya orang tua, guru dan lingkungan kepada anak. Memperhatikan kesehariannya, makanannya, gizinya, perlakuan orang-orang dan teman-teman di sekitarnya. Memperhatikan kualitas memainkan peran sekolah dan belajar.
Siapa sih orang tua yang nggak ingin “anak dapat layanan kelas 1′ mendapatkan apapun ‘anaknya menjadi yang utama’?
Anak menjalani PAUD, TK, SD, SMP, SMA, kuliah. Kurang lebih jalur pendidikan ditempuhnya selama 19 tahun. Tentunya kalau bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik, sebagaimana ukuran hidup kedepan yang lebih sejahtera.
Namun ia baru tahu, selesainya pendidikan, belum apa-apa, ke depan anak harus bisa memenuhi hidupnya.
Orang tua pun sedari anak kecil sudah berkorban banting tulang demi anaknya sekolah, menahan diri dalam segala hal demi anaknya, menumpahkan kasih sayangnya, pengorbanannya, memperhatikan tumbuh kembangnya.
Orangtua ingin anak-anaknya bekerja di tempat yang keren, dijamin kesejahteraannya, kesehatannya, dan sebagainya.
Sampai suatu saat anak harus mandiri. Datanglah dunia kerja.
Orientasi ‘sekolah ‘ selama ini ‘baru disadari’ adalah bekerja. Dari sekian besar effort, intinya anak bisa bekerja.
Anak-anak ditanya, mau jadi apa? Guru, pilot, dokter, polisi, supir. Semua itu cita-cita yang sangat baik.
Dunia bekerja adalah dunia buruh. Orang-orang harus bekerja (menjadi buruh) pada pimpinannya. Bekerja dengan orang lain. Tak peduli ia bekerja sebagai polisi, aparat, PNS swasta maupun pribadi. Mereka semua akan bekerja dalam generasi Omnibuslaw.
Omnibuslaw adalah aturan yang menggabungkan semua aturan menjadi satu untuk menciptakan lapangan kerja yang bejibun. Namun sudahkah payung hukum cipta kerja ini sesuai dengan pengorbanan kita, sebanding dengan kita dan Negara membesarkan anak anak bangsa.
Apakah anak-anak kita menjadi generasi pesakitan undang-undang ini? Atau Omnibuslaw bisa memastikan masa depan anak-anak bangsa?
Apakah ketidaktahuan kita akan Omnibuslaw akan meregenerasi kepada anak, cucu, buyut, sampai tua nanti. Bahwa 10 sampai 15 tahun lagi anak kita akan memasuki dunia kerja?
Di mana Omnibuslaw kita? Apakah sudah kita bahas?
Apakah setelah anak-anak kita besar, yang ditumbuhkan dengan kasih sayang, cinta kasih, pengorbanan atas batin, pengorbanan agar mendapatkan pendidikan nomor 1, tetapi apakah semua itu ke depannya akan dipenggal oleh Omnibuslaw?
Bayangkan bila Omnibuslaw sudah berjalan, kemudian Anak-anak itu kembali datang kepada kita ‘dari tempat mereka bekerja’, dan berkata ayah bunda adakah uang buat makan, adakah uang buat sakit, adalah harga diri kami dengan persaingan orang di luar sana?
Akihirnya orangtua pun menghadapi anak dengan penyesalan yang besar. Lupa mengkritisi bahwa setiap kebijakan, ada efek samping yang ditimbulkan, terutama bagi masa depan anak bangsa.
Semoga pemerintah bisa lebih bijak mengeluarkan “kebijakan”, sehingga kesejahteraan bis merata bagi semua kalangan.
Salam Senyum Anak Indonesia,
Jasra Putra
Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak