Pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta yang berlarut-larut sepeninggal Sandiaga Uno merupakan ujian bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Apakah aspirasi rakyat yang telah disalurkan dalam pemilihan kepala daerah (2017) dapat dikelola oleh wakil rakyat (anggota DPRD) secara bertanggung-jawab atau sekadar politik transaksional? Hal itu terungkap dalam diskusi yang digelar Lembaga Kajian Strategi dan Pembangunan (LKSP) di warung Upnormal Raden Saleh, Jakarta.
Saat ini dua nama calon wagub yang sedang digodok DPRD DKI Jakarta, yakni Nurmansjah Lubis (dari PKS) dan Ahmad Riza Pattie (Gerindra). “Nama Nurmansjah atau biasa dipanggil Bang Ancah menjadi kejutan karena tidak pernah muncul sebelumnya. Saat namanya diajukan partai pengusung dan disampaikan Gubernur DKI Anies Baswedan ke DPRD langsung mencuat, menjangkau 33,30 juta potensi netizen. Sedangkan Riza hanya menjangkau 29,27 kita Akun,” ujar Muhsinin Fauzi, Pembina LKSP yang melakukan monitoring media online dan percakapan media sosial.
Monitoring dilakukan LKSP pada periode singkat 26-31 Januari 2020, namun potensi netizen yang terpapar berita atau terlibat percakapan tentang Cawagub DKI sangat besar, mencapai 62,57 juta. Dari sisi tren pemberitaan dan percakapan medsos, popularitas Bang Ancah meningkat +76,30 persen, sementara popularitas Riza menurut -41,49 persen.
“Namun dalam hal berebut simpati publik, kedua kandidat bersaing ketat karena sentiment positif terhadap sosok Nurmansjah (mantan anggota DPRD DKI) sekitar 51,26 persen dan Riza 51,68 persen. Beda tipis. Bang Ancah sangat dekat dan interaktif di media sosial, dan Riza dapat liputan media mainstream,” jelas Muhsinin. Bisa dibilang Bang Ancah merupakan cawagub pilihan netizen, sehingga para elite DPRD jangan mengabaikan.
Pembicara lain dalam diskusi, Pangi Syarwi Chaniago (Voxpol Center) dan Ubeidillah Badrun (Analisis Sospol UNJ) mengkritisi temuan LKSP. “Semula banyak orang pesimis dengan proses pemilihan wagub DKI yang terlunta nyaris dua tahun. Warga mencuat proses demokrasi langsung (pilkada) akan dibajak elite politik (DPRD). Bau amis (money politic) sangat terasa, meskipun belum ditemukan bukti. Karena itu, KPK dan pengawas harus menjalankan tugasnya memantau seluruh anggota DPRD DKI,” tegas Pangi Syarwi.
Pangi mengusulkan agar segenap interaksi antar anggota DPRD dan elite politisi terkait diawasi, bahkan rekening bank diperiksa bila ada transaksi yang mencurigakan, sehingga tidak terjadi kesepakatan di bawah tangan yang menciderai aspirasi rakyat Jakarta. Apalagi posisi Wagub DKI tidak hanya penting dalam konteks lokal, namun bersifat strateg bagi konstelasi nasional.
Usul sebaga diajukan Ubeidillah Badrun agar masyarakat sipil bergerak mengawasi proses pemilihan di DPRD DKI yang saat ini masih repot membahas tata tertib. “Pemilihan Wagub DKI merupakan ujian bagi demokrasi Indonesia yang sudah carut-marut dan juga barometer bagi pemilihan serupa di daerah lain. Dalam pemilihan langsung kita menemukan banyak kelemahan mulai dari daftar pemilih tak valid hingga meluasnya politik uang di akar rumput. Apakah pemilihan melalui anggota DPRD (perwakilan partai) ini akan bersih dan sukses atau semakin memperkuat politik transaksional?” ujar Ubeidillah yang pernah menjadi anggota tim penilai (fit and proper test) cawagub DKI bersama Eko Prasojo dan Siti Zuhro.
Ujian bagi lembaga DPRD dalam mengelola aspirasi rakyat agar terpilih wagub yang tepat untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Sandi, terutama dalam mengawal penyusunan dan realisasi APBD, serta pengawasan internal birokrasi. Ujian bagi partai politik, apakah bisa mencapai konsensus untuk memilih wakil kepala daerah sesuai kebutuhan efektivitas pemerintahan daerah, bukan menimbulkan kegaduhan baru.
“Ujian pula bagi kepemimpinan tokoh sekelas Prabowo Subianto yang telah berjanji untuk mendukung cawagub dari PKS sebagai kompensasi dukungan pilpres. Sementara tokoh PKS seperti Sohibul Iman telah melakukan silaturahim dan pelukan kebangsaan dengan partai-partai nasionalis. Itu bisa mengubah konstelasi dukungan di DPRD,” papar Ubeidillah. []