CATATAN AHIR TAHUN SPIDOL MERAH
Sepanjang tahun 2019, terekam dengan jelas beberapa peristiwa di tengah masyarakat yang mencirikan dinamika sebuah kohesivitas sosial di Kota Bekasi. Perlu pemaknaan yang menanggalkan -kacamatakuda- untuk melihat dengan jernih dan terang benderang akan hal itu semua.
Kota Bekasi sempat menjadi olok-olok netizen, pasalnya ada pola pemberdayaan dalam perparkiran. Pemkot Bekasi dengan -sembrono- mengeluarkan surat tugas untuk kelompok ormas tertentu yang berujung gaduh dan viral di jagad maya. Sejurus kemudian, ada stempel -Bekasi Kota Preman-. Memprihatinkan.
Di dera keuangan daerah yang defisit, Pemkot Bekasi memilih jalan merasionalisasi anggaran. Pilihan ini menjadikan hak para ketua RT/RW, kader-kader posyandu, jumantik, marbot, personil linmas tak mendapatkan insentif sebagaimana mestinya. Walaupun kondisinya sebagaimana diatas, Pemkot Bekasi masih memiliki goodwill untuk menyelaraskan problem-problem diatas.
Pemerintah Kota Bekasi punya tanggungjawab besar untuk terus mewujudkan visi “Cerdas, Kreatif, Maju, Sejahtera dan Ikhsan”. Di semua aspek pembangunan visi ini harus melekat sebagai energi bersama, agar tak menjelma sebagai kredo semata. Sebab itu, selain goodwill, Pemkot Bekasi perlu menunjukkan political will yang kemudian menciptakan cita rasa kemitraan dengan semua komponen dan elemen politik di Kota Bekasi.
Pendeknya, Walikota Bekasi harus mampu menunjukkan sebuah sikap yang -Satunya Kata dengan Perbuatan-. Penting untuk digarisbawahi agar tak Walikota Bekasi tak hanya -lebay- dengan jargon-jargon kosong. Ini bisa kita catat dalam kebisingan beberapa bulan ke belakang terkait wacana penggabungan Kota Bekasi ke DKI Jakarta.
Relasi politik eksekutif dengan legislatifpun perlu dikedepankan sebagai bentuk terjalinnya kinerja kedua lembaga yang memiliki peran penyelenggara pemerintahan. 6 (enam) bulan pasca dilantiknya anggota DPRD Kota Bekasi untuk masa bhakti 2019-2020 belumlah terlihat adanya paduan kemitraan dalam anggaran, kontrol dan legislasinya. Kenapa?
Tak terakomodirnya Fraksi Golkar di sebaran Alat Kelengkapan DPRD juga merepresentasikan betapa bangunan komunikasi dan penjelmaan relasi politik antara kedua penyelenggara pemerintahan berjalan sendiri-sendiri.
Puncak dari hal tersebut adalah persoalan Kartu Sehat Berbasis Nomor Indul Kependudukan (KS-NIK). Di titik inilah, sesungguhnya juga menjadi -matinya dialektika- antara eksekutif dan legislatif. SPIDOL MERAH memberi catatan khusus terkait hal ini, karena melihat begitu -liarnya- statemen-statemen terbuka baik Pemkot Bekasi dan lebih-lebih DPRD Kota Bekasi. Hal ini mendorong adanya elemen masyarakat yang mendatangi DPRD melalui demontrasi dan unjuk rasa yang mempersoalkan KS-NIK.
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 disoal sebagai -ganjalan- keberlangsungan KS-NIK, khususnya Pasal 102 yang mengamanatkan integrasi Program Jamkesda ke Program JKN. Respon Pemkot Bekasi adalah menerbitkan surat edaran yang menyatakan menghentikan sementara program KS-NIK per 1 Januari 2020 seraya melakukan upaya hukum dan penyelarasaan lainnya terkait permasalahan KS-NIK.
Lagi-lagi Walikota Bekasi tak satunya kata dengan perbuatan, Perda Jamkesda KS-NIK adalah produk eksekutif, demikian juga surat edaran penghentian sementara KS-NIK. Jika saja, surat edaran tanggal 29 November 2019 juga menyertakan butir-butir rekomendasi KPK-RI maka tak akan ada beragam tafsir dan opini. Karena secara tegas KPK RI pun mendorong KS-NIK untuk terintegrasi dengan JKN (BPJS).
Inkonsistensi yang berulang menunjukkan kepanikan tengah melanda Walikota Bekasi, tercermin dalam pidatonya di Rapat Paripurna DPRD Kota Bekasi hari Senin (30/12). Ia memberi pemaknaan bahwa Jamkesda dan KS-NIK adalah program yang berdiri sendiri-sendiri. Menjadi 2 (dua) hal yang berbeda. Sepertinya sangat naif (!). Jamkesda dan KS-NIK adalah kesatuan program. Sangat tidak elok jika sekelas walikota memiliki pemahaman yang demikian.
Sebangun dengan pernyataan yang -keblinger- itu, terungkap pula bagaimana Walikota Bekasi memiliki paradigma berpikir yang memposisikan JKN dan KS-NIK secara diametral; berhadap-hadapan (!). Alat ukurnya adalah iuran dan non iuran atau gratis. Ia lupa soal prinsip portabilitas, tak menganalisa resiko beban anggaran dan tumpang tindih anggaran (APBN dan APBD).
Lebih jauh, cara pandang yang menyatakan bahwa masyarakat yang menjadi peserta BPJS harus membayar terus iuran bulanan meskipun tidak sakit. Sedangkan KS-NIK tanpa iuran dan pemnfaatannya lebih jelas di kala masyarakat menderita sakit. Ini konyol !. Bisa disimpulkan bahwa KS-NIK lebih merupakan -Jaminan Sakit- bukan jaminan kesehatan seperti JKN.
Hal lain yang menjadi catatan SPIDOL MERAH adalah proyek revitalisasi pasar yang sejauh ini masih dikeluhkan oleh para pedagang. Pemkot Bekasi hendaknya benar-benar dapat melindungi pedagang sebagai sebuah keberpihakkan, demikian halnya dengan DPRD Kota Bekasi. Harus ada win-win position. Pedagang tak bisa hanya menjadi objek, sementara haknya tak diayomi.
Harapan kita, Walikota Bekasi lebih mampu menunjukkan sikap kepemimpinan yang “Satunya Kata dengan Perbuatan”, sehingga masyarakat memiliki kepercayaan penuh dalam mewujudkan visi “Cerdas, Kreatif, Maju, Sejahtera dan Ikhsan”.
31 Desember 2019
Spidol MERAH
HENU SUNARKO
Direktur Eksekutif