Saya dan tim (4 orang) mendominasi pendengaran, hampir 80-90% mendengar sejumlah warga dan tokoh sebagai key informan dalam Rapid Asessment Pengelolaan Sampah di wilayah Teluk Naga Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, 5-7 Oktober 2019. Kami menjelajahi aliran Kali Cisadane, mulai dari Kota Tangerang tempat kami menginap, sampai muara di Desa Tanjung Burung Teluk Naga, sepanjang lebih dari 35-40 kilo meter. Suatu perjalan panjang dan sulit.
Fokus studi cepat adalah titik pembuangan sampah liar dan lebih detail pembuangan sampah liar di sepanjang DAS Kali Cisadane. Setelah melewati pasar Teluk Naga, kemudian kami berjalan sampai di pinggir DAS Kali Cisadane, lalu kami mendapati beberapa titik pembuangan sampah liar. Kami turun menelusuri pembuangan sampah itu. Ternyata semakin banyak sampah yang dibuang di DAS dan badan kali, justru itu kami semakin penasaran ingin mengetahui lebih banyak meskin panas matahari sangat terik, tepat pukul 12.00 Wib.
Kami terus menyelusuri Kali Cisadane, di kanan kiri terdapat sejumlah pabrik, yakni pabrik perahu/kapal, peternakan sapi, dan pabrik tekstik, pabrik lainnya. Dalam perjalanan itu, kami bertemu dengan sekolah dasar negeri dan di depannya terdapat warung kecil, disini beberapa orang sedang ngobrol. Lalu, kami mendekati dan menyapaikan ijin (permisi) sebagai bentuk adab kesopanan sebagai tamu.
Kami perkenalkan diri dengan warga Teluk Burung itu. Ternyata, salah satunya adalah tokoh masyarakat setempat, yang dikenal dengan Nasir Ning. Kami diskusi cukup hangat sambil minum teh es manis sambil makan roti dan lainnya kopi panas. Nasir Ning bersama temannya bercerita tentang perkembangan desa dan perubahan-perubahan pisik air Kali Cisadane.
Nasir Ning adalah Ketua Kelompok Tani Tan Wan Tjok. Nama tersebut langsung dilabelkan untuk kelompok tani, malah nama itu yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten. Nama Tan Wan Tjok itu dipakai kelompok tani sejak dari dulu. Setelah diskusi lama, dapat diketahui, bahwa Tan Wan Tjok adalah perintis Desa Tanjung Burung Teluk Naga. Beberapa tokoh desa, kepala desa, juga ada yang menjadi anggota DPRD merupakan etnis Cina. Di wilayah ini terdapat beberapa makam etnis Cina. Nama Teluk Naga identik dengan nama dan simbol religius kecintaan etnis Cina.
Hal ini tentu ada kaitan sejarah, dan secara etnograpi cabang dari ilmu antrologi perlu dipelajari secara ilmiah. Mereka sudah beberapa generasi membaur dengan etnis Banten, mereka dilahirkan di Teluk Naga, mereka tidak tahu desa atau kota negeri asal usul nenek moyangnya. Mereka merupakan warga asli Teluk Naga Tangerang, atau secara luas sebagai orang atau warganegara Indonesia. Bahkan mereka sudah mengalami akulturasi budaya, terjadi pernikahan dengan etnis pribumi Tangerang. Dan semua sudah menjadi satu keluarga besar tanpa ada perbedaaan, seperti keluarga Nasir Ning.
Nasir Ning menceritakan eksisting Kali Cisadane sekarang. Bahwa airnya sudah tidak layak dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, pertanian, peternakan, dan pertambakan. Karena air Kali Cisada tambah keruh, hitam, sangat bau, penuh sampah dan limbah cair berbahaya yang berasal dari pabrik, seperti pabrik tekstil. Jika mengenai kulit rasanya gatal-gatal. Sudah lama warga tidak memanfaatkan air Cisadane. Jika digunakan untuk pertanian, lebih 40 hektar tanaman padi malah kena penyakit seperti wereng, tanaman jadi hitam, kemudian tanaman padi mati. Jika air kali itu dialirkan ke tambak ikan akan mabuk selanjutnya mati. Kondisi Kali Cisadane sangat menakutkan sekarang ini. Sekitar 12.250 KK lebih warga Tanjung Buruk yang terdampak air Cisadane akibat airnya tercemar berat.
Kali Cisadane masih dimanfaatkan penduduk sebagai media transportasi menuju ke laut Tangerang/Jawa. Di sini terdapat sejumlah speedboad mewah yang diparkir di pinggir Kali Cisadane. Kemungkinan besar, speedboad itu menghantar untuk kegiatan plesiran/wisata dan mancing di pesisir dan Teluk Naga. Sebenarnya daerah Teluk Naga, dan juga Tanjung Pasir cocok sebagai destinasi ekowisata. Di sini ada Beberapa tempat pemancingan dan kuliner ikan bakar.
Selain itu, ada perahu atau rakit dari kayu yang berfungsi menyeberangkan orang dan kendaraan motor antar wilayah utara dan selatan Desa Tanjung Burung. Setiap orang dan motornya dikenai tarip Rp 5.000 sekali jalan. Rakit itu menyeberangi air Cisadane yang penuh sampah dan sangat bau. Untuk mengetahui kondisi Kali Cisadane lebih dalam, beberapa kali ikut naik perahu itu sembari melakukan interview dengan Nasir Ning dan penarik perahu itu, serta pengambilan gambar foto dan video.
Nasir Ning menceritakan masa lalu Kali Cisadane dan perubahan sikap dan pandangan warga, semacam metode time-serius, yang sangat dikenal dengan pendekatan kualitatif dalam konteks metodologi penelitian. Sebab untuk mendapatkan informasi dan data butuh informan kunci dalam memahan conteks social kultur setempat. Informasi yang diperolah seperti bola salju (snow bolling) yang terus membesar.
Pada tahun 1955 waktu ia kecil, Kali Cisadane jadi kebanggaan masyarakat. Airnya sangat jernih, bening, segar dan ikan banyak dan kelihatan. Warga mandi di sini setiap hari. Kali Cisadane punya peranan dan fungsi sangat vital bagi penduduk Teluk Burung dan sekitar. Sampai pada tahun 1970, 1980, 1990-an air Kali Cisadane masih bagus. Kemudian dalam perjalanan waktu, air Kali Cisadane berubah draktis pada tahun 2000 setelah adanya perkembangan pabrik yang semakin pesat dan aktivitas manusia di sekitar kali.
Nasir Ning melanjutkan, dan lebih menyedihkan kondisinya terjadi pada awal Oktober 2019, ketika musim kemarau panjang berlangsung sementara air Cisadane tidak dapat dimanfaatkan, maka yang ada hanya pusing dan putus asa. Usaha pertanian dan pertambakan udang dan ikan bandeng terus merugi. Warga nelayan dan petambak hanya gigit jari, sementara modal untuk melangsungkan hidup serba pas-pasan. Jika air masih jernih nelayan bisa memperoleh pendapatan Rp 200.000-500.000/hari, sekarang dibawah Rp 100.000/hari. Belum lagi dipotong modal melaut.
Nasir Ning menyarankan agar menelusuri wilayah pertambakan dan muara Teluk Naga. Sampah dari beberapa tempat terbawa air bertemu di muara itu, dan dikenal semacam pulau sampah. Tim pun berjalan ke arah areal tambak, dan memarkirkan kendaraan di areal pepohonan jati. Tambak-tambak yang cukup luas itu kondisinya sebagian besar mengering, dan ada beberapa baris, dan di sisi lain ada satu, dua atau lima pohon mangrove masih hidup. Alasannya air Cisadane sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi karena penuh sampah dan limbah cair berbahaya dan beracun (B3). Mestinya ada pihak yang melakukan uji laboratorium air Cisadane secara rutin dan dilaporkan kepada publik. Jika terkena air ini udang dan ikan akan mabuk dan mati. Mereka sudah tidak panen udang dan ikan bandeng.
Nelayan dan warga dalam kondisi pusing tujuh keliling itu, malah tanah-tanah mereka diukur oleh developer. Sekitar seluas 500 hektar lahan pertambakan, permukiman nelayan dan lainnya sudah diukur beberapa kali. Menurut beberapa warga paling ujung Desa Teluk Burung itu, tanah mereka dihargai Rp 250.000/m2. Namun warga masih bertahan karena dianggap harganya terlalu murah, nanti tidak bisa membangun rumah lagi. Mereka takut harga tanah di tempat baru lebih mahal, sementara untuk membangun rumah biayanya kian mahal.
Beberapa developer besar dari ibukota Jakarta melakukan ekspansi besar-besaran ke wilayah Teluk Naga. Lahan yang diukur itu akan dijadikan pemukiman, tempat wisata, dll. Contoh, sekarang dilakukan kegiatan pengurugan besar-besaran, seperti di wilayah Tanjung Pasir Teluk Naga. Tampaknya, daerah-daerah pesisir yang kumuh penuh sampah dan limbah cair beracun itu akan disulap jadi kota baru atau kota mandiri, seperti Pantai Indah Kapuk.
Lambat laun daerah-daerah pesisir utara Kabupaten Tangerang akan dibeli oleh para pengusaha besar atau para konglomerat sektor real estate, apartemen, hotel, resort, pabrik, pergudangan, jasa modern dan wisata. Tampaknya hanya pengusaha besar yang mampu menyulap daerah kumuh itu menjadi tempat yang disukai, meskipun nantinya akan dipasarkan dengan harga sangat mahal. Bisa-bisa harga tanahnya Rp 5-10 juta/m2. Dan jelas sekali warga asli desa ini tidak aka mampu bertahan menghadapi tekanan para pengusaha besar itu di era persaingan bebas dengan modal dan networking super kuat.
Setelah dari muara Teluk Naga, Tim berjalan ke arah timur, menurut warga di wilayah timur pinggir Cisadane banyak kegiatan perlapakan sampah. Setelah sampai di tempat tujuan, kami turun dan menemui salah satu pelapak. Ia bilang baru satu tahun membuka lapak di DAS Cisadane. Sampah yang dikelola dikirim para makelar sampah dengan imbalan Rp 300.000/truk. Sampah itu berasal dari pemenang tender dari mall, super market, apartemen, hotel, kantor, perumahan, bahkan ada yang berasal dari bandara. Penerima akhir sampah itu hanyalah posisinya sebagai pelapak dan pemulung. Menurut mereka pendapatannya kecil, tetapi beban tanggungjawabnya terlalu besar. Mereka sering didatang sejumlah orang dimintai duwit.
Menurut pelapak itu, diketahui anak seorang jawara, bahwa apa yang dilakukan untuk cari nafkah, menyambung hidup bersama beberapa pemulung. Ia mengatakan ada areal penampungan sampah yang lebih besar lagi ketimbang di sekitarnya. Kemudian kami berjalan ke arah timur, setelah beberapa menit kami menemukan kegiatan perlapakan sampah cukup besar dan kondisinya sangat mengerikan. Sisa-sisa sampah dihamparkan dan dibakar di DAS Cisadane dan sebagian besar dibuang ke badan kali.
Para pelapak di pinggir-pinggir utara dan selatan membuang sampahnya langsung ke Kali Cisadane. Cisadane jadi Tong Sampah Raksasa yang sangat menakutkan. Daerah ini dikenal dengan julukan sangat menyeramkan: “Kali Mati Cisadane”. Suatu bentuk kekejaman manusia terhadap alam dan lingkungan. Mereka tak merasa bersalah, tidak merasa berdosa, bahwa ulah dan perilakunya sangat merugikan manusia, makhluk lain dan alam. Perilaku buruk yang dilarang oleh ajaran agama dan peraturan perundangan.
Beberapa kali didatangi Camat setempat tetapi membiarkan usahanya berjalan. Camat minta agar sisa-sisa sampah dikelola, dan tidak dibuang ke kali. Namun, apa yang terjadi hampir semua pelapak dan pemulung di sini membuang sampahnya ke kali dan sebagian dibakar begitu saja. Setiap hari mereka membuang sampah ke kali sebab mereka tidak punya teknologi pemusnah sampah. Sebetulnya, mereka menunggu perhatian pemerintah dan beri dukungan teknologi dan bimbingan kelola sampah yang benar!?
Sebetulnya banyak teknologi alternatif pemusnah sisa-sisa sampah, salah satunya teknologi waste tunnel kiln incinerator (WTKI). Teknologi ini dapat dirancang untuk skala kecil, menengah maupun besar. Merupakan teknologi domestik, murah dan mudah dioperasikan. Skala kecil kapasitas 15-30 ton/hari dapat ditempatkan pada titik-titik tertentu, terutama yang banyak aktivitas perlapakan dan pembuangan sampah liar di sepanjang DAS Kali Cisadane.
Dalam kondisi nelayan dan warga yang terjepit, sementara pemerintah setempat tidak mampu memberi solusi cepat dan komprehensif maka akan menciptakan depresi atau stress yang tinggi. Salah satu solusi utama harus berasal dari pemerintah. Pemerintah baru bertindak cepat sebelum segala sesuatunya terlambat, Tragedi Kali Mati Cisadane meluas dan merengut korban nyawa.
Seperti Nasir Ning, meminta pada pemerintah daerah dan pusat paling tidak bisa membersihkan sampah dan limbah dari Cisadane. Kedua, bagaimana mengembalikan kualitas air Cisadane menjadi normal seperti dulu sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, pertanian, peternakan dan pertambakan. Ketiga, pemerintah daerah dan pusat dapat menindak tegas pabrik-pabrik yang membuang limbah ke Cisadane.
Permintaan Nasir Ning dan ribuan warga pada saat ini bisa dikatakan cukup berat dan perlu proses panjang. Tetapi jika konsep konservasi dan remediasi Kali Cisadane sudah hilang, maka harapan menuju kematian tanpa desakan nafas. Negara dan pemerintah dianggap oleh rakyat sudah tiada, karena tanpa adanya intervensi dan pembelaaan terhadap rakyat korban dan kerusakan lingkungan yang massif.
Meskipun begitu desahan nafas rakyat menuju kematian, negara dan pemerintah harus bisa menghidupan dengan menginfus udara segar penuh semangat dan harapan. Negara dan pemerintah punya segala sumberdaya dan kekuatan pemaksa yang bisa dengan sangat cepat memulihkan atau mengkonservasi Kali Cisadane. Negara dan pemerintah Indonesia bisa mengeluarkan Kebijakan Nasional Pemulihan Kali Cisadane, didukung produk peraturan perundangan, setidaknya Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemulihan Kali Cisadane.
Pemerintah pusat langsung memberikan komando dalam aktivitas riel Pemulihan Kali Cisadane. Pemulihan Kali Cisadane menjadi salah satu prioritas program Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin (2019-2023). Dalam periode tersebut sakit Cisadane dapat disembuhkan dan jadi salah satu kali terbersih dan terindah di dunia. Gerakan pemerintah baru sangat dinantikan rakyat Teluk Naga Tangerang, Banten.* 20/10/2019
Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNAS) dan Dewan Pembina Koalisi KAWALI Indonesia Lestari.