Moderat dan Mencerdaskan Masyarakat
Indeks
Opini  

Program Citarum Harum Tergilas Sampah Limbah Cair dan Bau Menyengat

Program Citarum Harum nampaknya akan menanggung beban sangat berat akibat sampah padat bercampur leachate, limbah domestik cair (tinja) dan limbah cair dari pabrik termasuk kategorial limbah berbahaya dan beracun (B3). Bahkan semakin banyak tumbuh bangunan dan WC sepanjang aera kali. Dan kali itu jadi tempat utama pembuangan sampah dan kotorannya. Aliran kali yang berada di wilayah Kabupaten Bekasi ada 16 kali. Beberapa yang sangat populer adalah kali CBL (Cikarang Bekasi Laut). Meskipun belakangan kita dihebohkan dengan Kali Busa, Kali Jambe Kabupaten Bekasi.
Menurut informasi dan data aktual, bahwa sampah yang masuk ke badan kali tersebut karena adanya TPA liar alias TPA ilegal. Pertanyaanya, kenapa ada TPA liar di pinggir kali Jambe? Demikian juga di sejumlah titik kali CBL ada TPA liar, juga ada pembuangan liar.
Ada yang sengaja membuat TPA liar. Ada warga yang membuang sampah di aera DAS dan badan kali. Banyak ditemui sampah dibungkus plastik kresek, karung atau pembungkus lainnya dibuang di pinggir jalan, DAS dan badan kali CBL, kali anak Citarum, dll. Pemandangan orang-orang membuang sampah tersebut terjadi sepanjang hari, pagi, siang, sore atau malam hari. Ada juga warga dan pemilik warung makanan langsung membuang sampahnya ke kali, mungkin lebih praktis. Meskipun sudah diperingatkan warga, tetap saja pemilik warung buang sampah ke kali, juga para pedagang pasar.
Bagi yang membuat TPA liar beralasan, di sini tidak ada pengangkutan sampah. Artinya Pemkab Bekasi tidak menyediakan sarana prsarana dan alat pengangkut sampah. Kemudian, mereka mengatakan TPA liar itu sebagai tempat mencari makan. TPA sebagai tempat pencarian nafkah hidup (livelihood). Setiap warga yang ingin mencari makan sebagai pengais dan pemilah sampah dipersilahan. Para pengais dan pemilah sampah dapat income Rp 45.000-50.000/hari. Para penampung sampah atau bos mendapatkan penghasilan Rp 10.000-15.000/pickup.
Pada TPA liar lain, pemulung mendapat penghasilan Rp 800.000 selama tiga minggu. Merupakan income sangat kecil di bawah standar kemiskinan World Bank. Orang-orang miskin seperti pemulung ini suaranya tak terdengar dan tersisihkan dari proses decision-making dan perumusan kebijakan pembangunan daerah dan pusat. Katakan, tidak ada yang memihak pada nasibnya.
Pengelola TPA liar ada yang secara terang-tetangan menyatakan, bahwa apa yang dilakukan salah, tidak sesuai ketentuan perundangan, tetapi tidak dibaca dan diperhatikannya. Ia bilang saya orang kecil, hanya dengan cara ini mencari nafkah untuk kelangsungan hidup. Ia tidak punya skill lain, karena tidak sekolah. Tanah yang dipakai miliknya sendiri. Jika ada yang mau menutup atau pemerintah mau menutup sekarang silahkan, yang penting saya dan puluhan orang yang terlibat disini diberikan pekerjaan penggantinya. Kami hanya minta pekerjaan dan solusi terbaik. Bahkan, mereka ingin adanya pembinaan rutin agar apa yang dilakukan tidak hanya disalahkan oleh pihak lain dan pemerintah, juga jadi “sapi perahan”, karena sedikit-sedikit minta duwit. Padahal kerja kami berbaur dengan kotoran dan bau, kami hanya numpang hidup mengais dan memilah sampah. Penghasilan kami cuma kecil.
TPA liar luasnya bervariasi, ada yang 0,25 ha, 1 ha, 2 ha, dll. Keberadaan TPA liar itu, ada yang sudah 5 tahun, 7 tahun dan ada yang sudah belasan tahun. Tentu saja pemerintah desa, kecamatan, mungkin tingkat kabupaten sudah mengetahui. Mungkin pula pihak pemerintah setempat sudah mengetahui para pengelola TPA liar di wilayah Kabupaten Bekasi. Warga yang berdiam di wilayah kecamatan sebelah pun tahu letak TPA liar itu. Titik-titik TPA liar dan pengelolanya menjadi sangat populer.
Sejumlah perumahan yang tumbuh pesat di wilayah kabupaten belakangan ini membutuhkan tempat pembuangan sampah. Warga butuh penanganan cepat, tidak mau sampah menumpuk 3-6 hari tidak diangkut karena akan keluar lindi, belatung, lalat dan bau. Mereka berprinsip yang penting kawasan pemukimannya bersih, tak peduli sampah mau dibuang kemana, apakah di pekarangan kosong, sawah, DAS, badan kali, dll. Karena tak mungkin menunggu otoritas pemerintah setempat mengatasi sampahnya. Jadi, yang selama ini mengatasi sampah warga tersebut adalah para pemilik/pengelola TPA liar. Pemilik TPA liar menjadi pemberi solusi terbaik dan tercepat saat ini.
Seperti pemilik TPA liar dan warga yang membuang sampah, juga pemilik pabrik mengalirkan limbah cairnya ke kali tidak berpikir panjang. Semua demi kepraktisan semata, tidak berpikir tentang resiko-resiko terhadap dampak buruk lingkungan, biota air, kesehatan warga dan income nelayan dan petambak di pesisir dan laut Muaragebong. Belakangan para nelayan dan petambak ikan bandeng dan udang menangis sebab hasilnya terus merosot. Mereka sedang gigit jari. Semua itu gara-gara sampah dan limbah cair beracun. Apalagi berpikir tentang kelangsungan dan kesuksesan Program Citarum Harum.
Siapa yang harus bertanggungjawab dan segera merespon permasalahan pencemaran kali CBL hingga laut Muaragembong? Adakah yang berani memberi solusi terbaik demi masa depan warga sekitar kali, petambak dan nelayan Muaragembong?
Bisakah kita mulai berpikir lebih jernih dengan visi misi dan tujuan jangka panjang? Bahwa pengelolaan sampah dan lingkungan merupakan bagian dari investasi. Sepanjang kali dapat dijadikan beranda rumah, destinasi wisata dan kuliner, dan badan airnya bisa dijadikan media transportasi air. Kali dan lingkungan yang bersih, indah dan nyaman akan meningkatkan derajat kemanusiaan, kultur dan peradaban.
Dampak positipnya pula untuk tujuan tertentu agar Program Citarum Harum yang dianggarkan triliunan rupiah pinjaman dari World Bank berhasil dan berkelanjutan. Rakyat tidak sabar menunggu sukses Program Citarum Harum, sedang petambak dan nelayan dapat menikmati penghasilan yang normal dan meningkatkan demi kesejahteraannya.*
6 September 2019
Oleh Bagong Suyoto, Koalisi Persampahan Nasional (KPNAS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *