Saluransatu.com – Forum Jurnalis Bekasi (Forjas) meminta aparat hukum di Kota Bekasi untuk bertindak tegas, dan mengimplementasikan memorandum of understanding (MoU) yang ditandatangi oleh Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Ketua Dewan Pers, Yoseph Adhi Prasetyo di Ambon, Maluku, pada puncak Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari 2017 lalu, sebagai bentuk Perlindungan Kemerdekaan Pers.
“Kalau memang ada temen-temen wartawan yang tergabung di Forjas ini melakukan kesalahan, atau pemberitaan yang dianggap tidak sesuai, silahkan laporkan saja ke aparat penegak hukum karena sudah ada MoU antara Dewan Pers bersama TNI dan Polri, jadi tidak perlu melakukan pengancaman, itu sama saja mengintimidasi Pers,” kata Sekertaris Forum Jurnalis Bekasi, Muhammad Alfi.
Ia mengatakan, tidak perlu takut terhadap apapun bentuk ancaman yang dilakukan oknum atas berita yang dihasilkan oleh jurnalis, sebab, ancaman itu bisa dilaporkan balik kepada aparat penegak hukum, sebagai bentuk pereventif.
“Laporin saja kalau memang ada yang melakukan pengancaman terhadap profesi jurnalis. Kehadiran pers jangan dijadikan musuh. Mudah-mudahan setiap temen-temen yang tergabung di Forjas akan mengedepankan etika jurnalistiknya, sebagaimana amanah UU Pers,” jelas Alfi.
Pengancaman terhadap pers, juga menarik perhatian Dewan Etik Forum Jurnalis Bekasi, Handika Nuralam, bahwa hal itu sama saja melawan pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pokok Pers.
“Siapapun itu yang menghalangi wartawan bisa dipidanakan dengan ancaman 2 tahun penjaran atau denda senilai Rp 500 juta,” katanya.
Menurutnya, kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara, juga dijamin dalam pasal 4 UU Pers, sehingga apapun dalihnya, pers harus bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
“Itu bisa dipidanakan. Karena UU tentang pers dengan jelas mencantumkan barang siapa menghambat wartawan mencari, mengumpulkan, dan mengolah informasi ada pidananya,” tutur Nuralam.
Bahkan, sambung Handika, bukan hanya pers, tetapi semua warga berhak menanyakan haknya kepada pejabat publik, sesuai undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi.
“Mengintervensi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi,” jelasnya.
Sebelumnya, kasus kekerasan terhadap jurnalis kerap kali terjadi di Indonesia. Bahkan, di Kota Bekasi belum lama ini, kembali pengancaman itu terjadi, yang dilakukan salah satu oknum LSM, terhadap RN, salah seorang wartawan media lokal di Kota Bekasi.
RN diancam untuk tidak meneruskan pemberitaan, salah seorang kepala sekolah negeri di Kota Bekasi. Ironisnya, ancaman itu jika tidak dilakukan akan berbuntut panjang.
RN pun mengaku, oknum LSM tersebut diduga sebagai orang suruhan dari kepala sekolah yang dia beritakan. Namun ketika di konfirmasi, ‘M’ (inisial Kepsek) membatah telah melakukan penyuruhan kepada oknum LSM atas ancaman tersebut.
“Saya tidak menyuruh mereka, justru saya ditanyai sama mereka para LSM, kenapa saya diberitakan. Saya memang aktif di berbagai organisasi masyarakat sebagai dewan penasehat,” kata RN menirukan ungkapan M